A. BERKENALAN DENGAN EPISTEMOLOGI ISLAM
Pengantar
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang
paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang
begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal dengan epistemologis.
Epistemologi secara kebahasaan berasal dari term Yunani [Greek], episteme
yang sepadan dengan term
knowledge: logos: dan account.
Epistemologi atau theory of knowledge ini sering
diuraikan sebagai is
that branch of philosophy which concerned with nature and scope of knowledge,
its presupposition and basis and general reliability of claim to knowledge.
Bidang epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia
membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui
cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil
yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian
dalam menentukan epistimologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis
ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Secara umum epistimologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat.
yaitu bayani. irfani, dan burhani:
Pembahasan ini
akan membicarakan rekonstruksi al-Jabiri tentang tipologi “epistemology Islam”
yaitu bayani, ‘irfani dan burhani. Pemikiran al-Jabiri ini dituangkan secara
luas dalam bukunya: Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi
al-‘Araby, 1993) sebagai bagian dari agenda besarnya, yaitu naqd al-aql
al-‘araby (kritik nalar Arab). Di sini terlihat bahwa focus pembicaraan
al-Jabiri sebenarnya nalar Arab, bukan nalar Islam. Hal ini, karena sasaran
kajiannya memang tradisi Arab struktur nalar yang membangunnya. Namun karena
Islam sebagai bagian dari tradisi Arab, dan dalam perkembangannyaa keduanya
saling mempengaruhi, maka pembicaraan mengenai Islam jelas suatu keniscayaan.
Pemikiran al-Jabiri ini kemudian banyak memberikan inspirasi bagi pemikir
Muslim kontemporer lainnya untuk melihat kembali struktur bangunan epistemology
Islam, sebagai dasar bagi bangunan ilmu-ilmu keislaman.
Meski
demikian, membaca al-Jabiri perlu tetap mempertimbangkan agendanya, yakni
“kritik”, dalam hal ini kritik nalar Arab. Maka wajar jika kadang-kadang timbul
kesan,bahwa karya ini bersifat provokatif. Apalagi, sebagaimana kesan beberapa
penulis, al-Jabiri sendiri berkecenderungan kepada burhani, suatu khazanah
‘nalar’ Arab yang selama ini dianaktirikan disbanding dua nalar yang lain:
bayani dan irfani.
Berbeda dengan
dua epistemology sebelumnya, bayani dan irfani, yang masih berkaitan denga teks
suci, Burhani sama sekali mendasarkan dari pada teks, juga tidak pada
pengalaman. Burhani menyandarkan dari apa kekuatan rasio,akal,yang dilakukan
lewat dalil-dalil logika.Bahkan, dalil-dalil agama hanya bias diterima
sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga epistemology
ini,seperti sejelasnya Jabiri,bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi
realitas non –fisik atas realitas fisik(qiyas al-ghaib ala al-syahid)
atau furu’ kepa yang asal ; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses
penyatuan ruhani pada Tuhan dengan penyatuan universal(kulliyat);burhani
menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahua
sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya’
B.SEKILAS PERJALANAN BURHANI
Al-Burhani
(demonstrative), secara sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas
berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi(qadliyah)melalui
pendekatan deduktif(al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan
proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik(badhihi).
Menurut
al-Jabiri, prinsip-prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles(384-322
SM) yang dikenal dengan istilah metode analitik(tahlili); suatu cara piker
(pengambilan keputusan) yang disasarkan atas proposisi tertentu,proposisi
hamliyah(categorical proposition) atau proposisi syarthiyah(hypothetical
proposition) dengan mengambil 10 kategori, sebagai objek
kajiannya;kuantitas,kualitas,ruang atau tempat,wakyu,dan seterusnya. Pada masa
Alexander Aphrodisi,murid, murid komentator Aristoteles, digunakan istilah
logika dan ketika masuk dalam khazanah pemikiran islam berganti nama menjadi
Burhani.
Cara berpikir
analitik Aristoteles ini masuk dalam pemikiran islam pertama kali lewat program penterjemahan buku-buku
filsafat yanggencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun(811-833 M);
sesuatu program yang dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran
rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan arab, pertemuan epistemologi burhani
Yunani dengan epistemologi bayani Arab. Program penterjemahan dan kebutuhan
akan penggunaan metode burhani ini sendiri, didasarkan atas tuntutan kebutuhan
yang ada; bahwa saaat itu muncul banyak doktrin yang kurang lebih hiterodok
yang dating dari Iran,India,Persia atau daerah lain dari pinggiran
Islam,seperti Madinah,Manikian,materialisme,atau bahkan dari pusat islam
sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi
pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan
dalam istilah zindiq. Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana
muslim(ulama) merasa perlu untuk mencari system rasional dan argument –argumen
yang masuk akal, karena metode sebelumnya, bayani, tidak lagi memadai untuk
menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang dikenal sebelumnya.
Sarjana
pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani adalah al-Kindi
(806-875M). Dalam kata pengantar buku filsafat pertama (al-falsafat
al-Ula),yang dipersembahkan untuk al-Mu’tashim (833-842), al-Kindi menulis
tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidak-senangannya pada
orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena
masih begitu dominannya kaum bayani(burhani)yang diperlukan al-kindi tidak
begitu bergema. Meski demikian al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru
dalam pemikiran Islam;Kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan
mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang;(1)Penciptaan
alam semesta, bagaiman terjadinya,(2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana
pembuktiannya,(3)pengetahuan Tuhan yang particular,apa ada hubungannya dengan
astrologi dan bagaimana terjadi.
Metode rasional atau burhani ini semakin masuk
sebagai salah satu sistem pemikiran islam Arab adalah setelah masa AL-Razi(865-925
M). Ia lebih ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seseorang rasionalis
murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi ,semua pengetahuan pada
prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal yang menjadi
hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh
pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk;setiap sumber
pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaaan belaka dan
kebohongan.
Metode burhani
akhirnya benar-benarb mendapat tempat dalam system pemikiran islam setelah masa
Al-Farabi(870-950 M). Filosof paripatetik yang dikenal sebagai “guru
kedua’(al-muallim al-tsani) setelah Aristoteles sebagai ‘guru pertama’(muallim
awwal) karenjaq pengaruhnya yang besar dalam peletakan dasar-dasar filsafat
islam setelah Aristoteles, tidak hanya mempergunakan epistemology burhani dan
filsafatnya, bahkan menempatkannya sebagai metode paling baik dan unggul,
sebagai ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi
kedudukannya disbanding ilmu-ilmu agama;
Ilm al-kalam(teologi) dan
fiqh(yurisprudensi),yang tidak mempergunakan metode burhani. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Ibnu Rusyd(1126-1198 M) ketika secara jelas menyatakan bahwa
metode burhani(demonstrative)untuk kalangan elite terpelajar, metode
dialektika(jadal)untuk kalangan menengah dan metode retorik(khithabi) untuk
kalangan awam.
C. EPISTEMOLOGI BURHANI
Pengertian
Dalam bahasa
Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah; clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa
inggris adalah demonstration, yang
mempunyai akar bahasa Latin: demonstration
(berarti member isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam
perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah
aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode
penyimpulan (al-istintaj), dengan
menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar
dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu
premis.
Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran
dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan
terhadap sebuah system pengetahuan (nidlam
ma’rifi) yang menggunakan metode tersendiri di dalam pemikiran dan memiliki
pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar kepada otoritas pengetahuan lain.
Jika
dibandingkan dengan kedua epistemology yang lain; bayani dan irfani, dimana
bayani menjadikan teks (nash), ijma’,
dan ijtihad sebagai otoritas dasar dan bertujuan untuk meembangun konsepsi
tentang alam untuk memperkuat akidah agama, yang dalam hal ini Islam. Sedang irfani menjadikan al-kasyf sebagai satu-satunya jalan di dalam memperoleh pengetahuan
dan sekaligus bertujuan mencapai maqam
bersatu dengan Tuhan. Maka burhani lebih bersandar pada kekuatan natural manusia
berupa indra, pengalaman, dan akal di dalam mencapai pengetahuan.
Burhani, baik sebagai metodologi maupun
sebagai pandangan dunia, lahir dalam alam pikiran Yunani, tepatnya dibawa oleh
Aristoteles yang kemudian terbahas secara sistematis dalam karyanya Organon, meskipun terminology yang
digunakan berbeda. Aristoteles menyebutkan dengan metode analitis (tahlili) yakni metode yang menguraikan
pengetahuan sampai ditemukan dasar dan asal-usulnya, sedangkan muridnya
sekaligus komentator utamanya yang bernama Alexander Aphrodisi memakai istilah
logika (mantiq), dan ketika masuk ke
dunia Arab Islam berganti nama menjadi burhani.
D. KARAKTERISTIK EPISTEMOLOGI BURHANI
Dalam
memandang proses keilmuan, kaum Burhaniyun bertolak dari cara piker filsafat di
mana hakikat sebenarnya adalah
universal. Hal ini akan menempatkan ‘makna” dari realitas pada posisi
otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat particular hanya sebagai penegasan
atau ekspresinya. Hal ini nampak sejalan
dengan penjelasan al-Farabi bahwa “makna/’ dating lebih dahulu daripada “kata”,
sebab makna datang dari sebuah pengkopsesian intelektual yang berada dalam
tataran pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi
memberikan pengandaian bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya dalam
kata-kata itu sendiri maka yang lahir selanjutnya bukanlah makna-makna dan
pemikiran-pemikiran baru tetapi kata-kata yang baru.
Jadi setiap
ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhan bermula dari
proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna,
sedang makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan
dimengerti, sehingga di sinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain,
kata-kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir di samping sebagai
sibol pernyataan makna.
mayor (al-hadd al-akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd al-ashghar) untuk premis yang
kedua, yang kedua-duanya saling berhubungan dan darinya ditarik kesimpulan
logis.
Mengikuti Aristoteles, Al-Jabiri dalam hal
ini menegaskan bahwa setiap yang burhani
pasti silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme yang burhani
(silogisme demonstrative atau qiyah
burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan
tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis). Silogisme (al-qiyas)
dapat disebut sebagai burhani, jika
memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui
sebab yang Secara structural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga
hal, pertama proses eksperimentasi
yakni pengamatan terhadap realitas; kedua
proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam
pikiran; ketiga, ekspresi yaitu
mengungkapkan realitas dalam kata-kata.
Berkaitan
dengan cara ketiga untuk mendapatkan ilmu burhani
di atas, pembahasan tentang silogisme demonstrative atau qiyas burhani menjadi sangat signifikan.
Silogisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu sullogismos
yang merupakan bentukan dari kata sullegin
yang artinya mengumpulkan, yang menunjukkan pada kelompok, penghitungan dan
penarikan kesimpulan. Kata tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi
qiyas atau tepatnya adalah qiyas jama’i yang
karakternya mengumpulkan dua proposisi-proposisi (qadliyah) yang kemudian disebut premis, kemudian dirumuskan
hubungannya hubungannya dengan bantuan terminus
medius atau term tengah atau menuju kepada sebuah konklusi yang meyakinkan.
Metode ini paling popular di kalangan filsuf Peripatetik. Sementara Ibn Rusyd
mendefinisikan demonstrasi dengan ketentuan dari satu argument yang konsisten,
tidak diragukan lagi kebenarannya yang diperoleh dari premis yang pasti
sehingga kesimpulan yang akan diperoleh juga pasti, sementara bentuk dari
argument harus diliputi oleh fakta akali. Jadi silogisme demonstratif atau
qiyas burhani yang dimaksud adalah
silogisme yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, yang
meyakinkan, sesuai dengan realitas (bukan nash) dan diterima oleh akal.
Aplikasi dari
bentukan silogisme ini haruslah melewati tiga tahapan yaitu tahap pengertian (ma’qulat), tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat).
Tahapan pengertian merupakan proses awal yang
letaknya dalam pikiran sehingga di sinilah sebenarnya terjadi pengabstraksian,
yaitu merupakan aktivitas berpikir atas realitas hasil pengalaman, pengindraan,
dan penalaran untuk mendapatkan suatu gambaran. Sebagaimana Aristoteles,
pengertian ini selale merujuk pada sepuluh kategori yaitu satu substansi (jauhar) yang menopang berdirinya
Sembilan aksidensi (‘ard) yang
meliputi kuantitas, kualitas, aksi, passi, relasi, tempat, waktu, sikap dan
keadaan.
Tahapan
pernyataan adalah dalam rangka mengekspresikan pengertian
tersebut dalam kalimat yang disebut proposisi (qadliyah). Dalam proposisi ini haruslah memuat unsure subyek
(maudlu’) dan predikat (muhmal) serta
adanya relasi antara keduanya, yang darinya harus hanya mempunyai satu
pengertian dan mengandung kebenaran yaitu adanya kesesuaian dengan realitas dan
tiadanya keragu-raguan dan persangkaan.
Untuk
mendapatkan satu pengertian dan tiadanya keraguan dan persangkaan, maka
pembuatan pernyataan harus mempertimbangan al-alfadz
al-khamsah yang ada dalam isagoge Aristoteles
atau yang biasa disebut dengan lima konsep universal yang terdiri dari jenis (genus) yakni konsep universal
yang mengandung suatu pengertian yang masing-masing sama hakikatnya, nau’ (spises) yaitu konsep universal
yang mengandung satu pengertian tetapi masing-masing hakikatnya berbeda, fasl (differentia) yaitu sifat yang
membedakan secara mutlak, khas (propirum)
atau sifat khusus yang dimiliki oleh suatu benda tetapi hilangnya sifat ini
tidak akan menghilangkan eksistensi benda tersebut dan ard (aksidensi) atau sifat khusus yang tidak bisa diterapkan pada semua benda.
Tahapan
penalaran; ini dilakukan dengan
perangkat silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua proposisi (al-muqaddimatani) yang kemudian disebut
premismenjadi alasan dalam penyusunan premis; kedua, adanya hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan yang dihasilkan harus
bersifat pasti (dlaruriyyah),
sehingga tidak ada kesimpulan lain selain itu. Syarat pertama dan kedua adalah
yang terkait dengan silogisme (al-qiyas).
Sedang syarat ketiga merupakan karakteristik silogisme burhani, dimana kesimpulan (natijah)
bersifat pasti, yang tak mungkin
menimbulkan kebenaran atau kepastian yang lain. Hal ini dapat terjadi, jika
premis-premis tersebut benar dan kebenarannya telah terbukti lebih dulu ketimbang
kesimpulannya, tanpa adanya premis penengah (al-hadd al-awsath).
Dalam
perspektif tiga teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola piker
burhani tampak ada kedekatannya
dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi. Dalam burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling
berhubungan dan konsisten antara premis-premisnya, juga secara benar koheren
dengan pengalaman yang ada, begitu pula tesis kebenaran konsistensi atau
koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk atas hubungan antara putusan dengan
sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri.
Dengan perkataan lain bahwa kebenaran ditegakkan atas dasar hubungan antara
putusan baru dengan putusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya dan
kepastiannya sehingga kebenaran identik dengan konsistensi, kecocokan dan
saling berhubungan secara sistematis.
STRUKTUR FUNDAMENTAL
|
EPISTEMOLOGI BURHANI
|
|
Nash/
Teks/ Wahyu (Otoritas Teks) Al-Akhbar, al-Ijma’ (Otoritas Salaf) Al-’Ilm
al-Tauqifi
|
|
Ijtihadiyyah
Istinbathiyyah/ Istintajiyyah/ Istidlaliyyah/ qiyasQiyas (Qiyas al-ghahib
‘ala al-syahid)
|
|
Lughawiyyah
(bahasa), Dalalah Lughawiyyah
|
|
Al-Ashl-al-far’,
Istinbathiyyah (pola piker deduktif yang berpangkal pada teks), Qiyas al-Ilah
(Fi-kih), Qiyas al-dalalah (ka-lam), Al-Lafdz-al-Makna, ‘Am-khash, Mustarak,
Haqiqah, Majaz, Muhkam, Mufassar, Zahir, Khafi, Musykil, Muj-mal, Mutasyabih
|
|
Akal
sebagai pengekang / pengatur hawa nafsu (lihat Lisan al-‘Arab Ibn Man-dzur),
Justifikasi-Repeetitif-Taqlidi (pengukuh kebenaran/ otoritas teks), Al-‘Aql
al-Diniy
|
|
Dialektik
(Jadaliyyah); al-‘Uqul al Mtanafisah
Defensif –
Apologetik – Polemik – Dogmatik Pengaruh pola Logika Stonic (bukan logika
Aristoteles)
|
|
Keserupaan/
kedekatan antara teks (nash) dengan realitas
|
|
Infishal
(discontinue) = Atomistik
Tajwiz
(keserbabolehan) = tidak ada hokum kausalitas, Muqarabah (kedekatan,
keserupaan), Analogi deduktif; Qiyas
|
|
Kalam
(Teologi), Fiqih (Jurisprudensi)/ Fuqaha; Ushuliyyun, Nahwu (Grammar);
Balaghah
|
|
Subjective
(Theistic atau Fideistic Subjectivism)
|
E.
LOGIKA DALAM EPISTEMOLOGI BURHANI
Menurut
sejarah munculnya metode pemikiran burhani. dasar logika yang paling
berpengaruh di dalamnya adalah logika Aristoteles. Istilah logika ini
sebenarnya muncul belakangan dan tidak pernah disebut oleh Aristoteles.
Aristoteles
sendiri memperkenalkan metode berpikirnya ini sebagai metode berpikir analitik.
Logika Aristoteles sering disebut sebagai logika tradisionalis, logika formal,
atau logika deduktif. Salah satu ajaran penting dalam logika Aristoteles adalah
silogisme.
Aristoteles
menjelaskan silogisme dengan cara yang berbeda dengan metode silogisme yang
telah disebutkan sebelumnya. Model silogisme yang disebutkan pada penjelasan
metode-metode inferensi sebelumnya adalah silogisme yang dikenalkan oleh logika
Stoik.
Model
silogisme Aristoteles serins
disebut sebagai silogisme katagorik karena semua proposisinya katagorik.
Silogisme terdiri dari beberapa komponen, yaitu premis mayor, premis minor, dan
kesimpulan. Di dalam istilah yang digunakan oleh Skolastik, terdapat beberapa
bentuk silogisme :
a. Bentuk pertama, term tengah (middle term) menjadi
subyek pada premis mayor dan menjadi predikat pada premis minor.
Contoh:
1. Semua manusia fana, (premis mayor). Sokrates adalah
seorang manusia, (premis minor)
Sokrates
fana. (kesimpulan)
-
Model ini disebut Barbara.
2. Tak ada ikan yang rasional. Semua hiu adalah
ikan. Tak ada hiu yang rasional.
-
Model ini disebut Calerent.
3. Semua manusia rasional.
Sebagian
makhluk hidup adalah manusia. Sebagian makhluk hidup rasional.
-
Model ini disebut Dani.
4. Tak ada orang Yunani berkulit hitam. Sebagian
manusia adalah orang Yunani. Sebagian manusia tak berkulit hitam.
-
Model ini disebut Ferio.
b.
Bentuk kedua, term tengah (middle
term) menjadi predikat pada premis mayor dan premis minor.
Contoh
:
Semua
tumbuhan membutuhkan air.
Tidak
sarupun benda mati membutuhkan air.
Tidak
sarupun benda mati adalah tumbuhan.
c.
Bentuk ketiga, term tengah {middle
term) menjadi subyek pada premis mayor dan premis minor.
Contoh
:
Setiap
manusia mempunyai rasa takut. Tetapi setiap manusia adalah makhluk hidup.
Sebagian makhluk hidup mempunyai rasa takut.
Dengan
landasan logika Aristoteles, beberapa metode yang dipakai dalam epistemologi
burhani adalah metode deduksi (istintaj, qiyasjami), induksi (istiqrd),
konsep universalisme (al-kulli). universalitas-universalitas
induktif, prinsip kausalitas dan historitas. serta tujuan syariah (al-maqashid).
Perbedaan
mendasar antara penalaran dengan epistemologi bayam dan burhani adalah inferensi
pada bayani didasarkan atas lafal, sedangkan pada epistemologi burhani
didasarkan pada makna.
F.
PERAN BAGI EPISTEM BERIKUTNYA
Dalam
perkembangan selanjitnya,metode burhani yang dianggap lebih unggul dibanding
dua epistemologi yang lain ternyata mengandung kekurangan,bahwa ia tidak bisa
sampai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh
penalaran rasional,meski rasio telah mengklaim sesuai dengan prinsip-prinsip
segala sesuatu,bahkan silogisme rasional sendiri pada saat tertentu tidak bisa
mejelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya.
Menurut
Suhrawardi(1154-1192 M),kekurangan rasionalisme burhani antara lain,(1) Bahwa
ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati lewat
burhani,(2) Ada eksistensi diluar pikiran yang bisa dicapai nalar tetapi tidak
bisa dijelaskan burhani,seperti soal warna,bau,rasa,atau bayangan,(3) prinsip
burhani yang mengatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut
yang lain akan mengiring pada proses tanpa akhir,ad infinitum,yang itu berarti
tidak ada absurditas yang bisa diketahui. Jelasnya,deduksi rasional (burhani)
dan demonstrasi belaka tidak bisa menyingkap seluruh kebenaran dan realitas
yang mendasari semesta.
Karena
itu,muncul metode baru yang disebut iluminasi (isyraqi) yang memadukan
metode burhani yang mengandalkan kekuatan rasio dengan metode irfani yang
mengandalkan kekuatan hati lewat kasyf atau intuisi. Metode ini berusaha
menggapai kebenaran yang tidak dicapai lewat jalan intuitif,dengan cara
membersihkan hati kemudian menganalisa dan melandasinya dengan argumen-argumen
rasional.
Namu
demikian,pada masa berikutnya,metode isyraqi dirasa juga mengandung
kelemahan,bahwa pengetahuan iluminatif hanya berputar pada kalangan elite
terpelajar,tidak bisab disosialisasikan sampai masyarakat bawah,dan tidak bisa
diterima bahkan tidakjarang malah bertentangan dengan apa yang dipahami kalanga
eksoteris(Fiqh) sehingga tidak jarang justru menimbulkan
kontraversial.Muncul metode kelima, filsafat transenden(hikmah al-muta’aliyah),yang
dicetuskan Mulla Sandra(1571-1640 M) dengan memadukan tiga metode dasar
sekaligus;metode bayani yang tekstual,metode burhani yang rasional dan metode
irfani yang intuitif.
Dengan
metode terakhir ini, pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya yang
dihasilkan oleh kekuatan akal tetapi juga lewat pencerahan ruhaniah,dan semua
itu disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen-argumen
rasional.Bagi kaum Muta’aliyah ,pengetahuan atau hikmah tidak hanya untuk
memberikan pencerahan kognisi tetapi juga realisasi;mengubah wujud penerima
pencerahan itu sendiri dan merealisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga
terjadi transformasi wujud.Semua itu tidak bisa dicapai kecuali dengan
mengikuti syariat,sehingga sebuah pemikiran harus menggaet metode bayani dalam
sistemnya.
Dengan
mengambil berbagai basis epistemologi seperti diatas,menurut
Muthahhari,perselisihan yang terjadi antara paripatetik dengan iluminasi,
antara filsafat dengan irfan,atau antara filsafat dengan teologi bisa
diselesaikan dengan baik. Namun demikian ,hikmah al-muta’aliyah bukan
merupakan singkritisme dari epistemologi sebelumnya,tetapi sebuah epistemologi
filsafat yang unit dan merupakan epistemologi yang berdiri sendiri.
Dibandingkan prinsip isyraqiyah
Suhrawardi yang berusaha mengintegrasikan paripatetis ke dalam
epitemologinya,menurut Jalaludin Rahmat, hikmah al-muta’aliyah Mulla Sadra
tidak berbeda dengan itu, bahkan ia bisa dikatakan melanjutkan upaya Sahrawardi
tersebut dan menjawab lebih banyak persoalan secara lebih mendalam. Perbedaan
diantara keduanya terjadi pada basis ontologisnya, meliputi ashalat al-wujud(Fundamental
eksistensi), Tasykik(gradasi eksistensi) dan barakat
al-jauhariyah(gerakan substansial).
Secara garis
besar, hubungan antara metode burhani dengan yang lainnya bisa dipetakan
sebagai berikut;
Peta
Perkembangan Epistemologi Islam
Bayani
Ket;
Sumber/ pengaruh
= => Kelanjutan dengan
perubahan
Irfani
Isyraqi muta’aliyah
Burhani
G. PENUTUP
Dengan mengandalkan kekuatan olah rasio,burhani
telah berjasa mengembangkan pemikiran filsafat islam. Juga telah membantu perkembangan
epistemologi lain,seperti bayani lewat pemikiran fiqh seperti yang dilakukan
al-Ghazali(1058-1111 M) lewat al-mustashfa fi ulul al-fiqh, dan membantu metode
irfani seperti yang terjadi pada Ibn Arabi(1165-1240 M) lewat uraiannya tentang
wahdat al-wujud. Ia bahkan masih merupakan penopang utama bagi epistemologi
berikutnya, isyraqiyah dan al-hikmah al-muta’aliyah. Aristoteles pernah
mengatakan,burhani bisa menyusunh (mengembangkan ) metode dan pemikiran lain
tapi ia tidak bisa disusun dari metode dan faktor lain.
Namun, itu bukan berarti burhani benar-benar
sempurna tanpa cacat. Ada beberapa catatan untuk epistemologi ini.
- Prinsip silogisme burhani yang diambil dari Aristoteles yang lebih menggunakan sesuatu yang rasional dan kebenaran yang empiris, secara tidak langsung berarti telah menyerderhanakan dan bahkan membatasi keberagaman serta keluasan realitas. Kenyataannya,realitas tidak hanya pada apa yang konkret, yang tertangkap indera,tetapi ada juga yang realitas yang diluar itu, seperti jiwa dan konsep mental. Artinya ,di sini ada kebenaran-kebenaran lain yang tidak bisa didekati dengan silogisme,seperti yang dikatakan Suhrawardi.
- Silogisme tida bisa menjelaskan atau menyimpulkan eksistensi empiris diluar pikiran seperti soal warna,rasa,bau,atau bayangan. Artinya tidak semua keadaan atau objek diungkapkan lewat silogisme sebagai kritik yang disampaikan Suhrawardi dan Leibniz(1646-1717 M)
- Prinsip logika burhani yang mengatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan mengiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum. Itu berarti tidak akan ada absurditas yang bisa diketahui. Logika burhani, seperti dikritik Suhrawardi, sesungguhnya tidak memberikan apa-apa, tidak menghasilkan pengetahuan baru.
- Sejalan dengan no.3 dengan prinsip bahwa kesimpulan yang khusus harus dideduksikan dari pernyataaan yang umum,maka apa yang yang disebut kesimpulan sebenarnya telah tercantum secara implisit pada pernyataaan umum yang disebut premis mayor; jika belum ada ,maka sia-sialah usaha silogisme tersebut karena sesuatu yang tidak ada tidak akan melahirkan sesuatu yang baru. Ini termasuk kritik yang disampaikan Bacon(1561-1626 M) dan John Stuart Mill(1806-1873) pada logika Aristoteles yang dipakai burhani.
- Silogisme ternyata telah cendrung mengiring penganutnya pada cara berpikir hitam putih,benar salah,sebagaimana yang terjadi dalam model pikiran teologi(ilm al-kalam) yang memang banyak menggunakan logika ini. Akibatnya, Pemikiran teologi menjadi sangat keras dan mudah menimbulkan konflik, karena tidak mengenal kebenaran pada pihak lain. Kebenaran hanya ada pihaknya sendiri.
TABEL
PERBANDINGAN KETIGA EPISTEMOLOGI
Tabel 1. Perbandingan Epistemologi Bayani. Irfani. dan Burhani
|
|||
|
Bayani
|
Irfani
|
Burhani
|
Sumber
|
Teks Keagamaan/ Nash
|
Ilham/ Intuisi
|
Rasio
|
Metode
|
Istinbat/ Istidlal
|
Kasyf
|
Talilili (analitik). Diskursus
|
Pendekatan
|
Linguistik
|
Psikho-Gnostik
|
Loaika
■i-
|
Tema Sentral
|
Ashl-Furu* Kata - Makna
|
Zahir - Batin Wilayah - Nubuwah
|
Essensi - Aksistensi Bahasa - Loaika
|
Validitas
Kebenaran
|
Korespondensi
|
Intersubjektif
|
Koherensi Konsistensi
|
Pendukung
|
Kaum Teolos.
ahli Fiqli.
ahli Bahasa
|
Kaum Sufi
|
Para Filosof
|
DAFTAR PUSTAKA
Sholih, Ahmad Khudori,2004,Wacana
baru Filsafat Islam.Penerbit Pustaka Pelajar.Celeban Timur UH III /548:
Yogyakarta
Muslih, Muhammad, 2005, Filsafat
Ilmu, Penerbit belukar: yogyakarta
Diakses dari Ahmad,Hujair Sanaky, pada 11 maret 2009, Pemikiran dan peradaban islam Dosen UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA website:http://islamlib.com
Diakses dari Rusydi,Muhammad pada 20 maret 2009,Epistemologi
Bayani Muhammad 'Abid al-Jabiri, Alumni Magister
Filsafat Islam, UlNSunan Kalijaga Yogyakarta,website: http://digilib.sunan-ampel.ac.id
1 komentar:
Hanya butuh 1 ID bisa main 8
Jenis Permainan dan menjadi Jutawan.
Ayo Gabung bersama kami Bosku.
arena-domino.net
Buktikan Sendiri Bossku!
Posting Komentar