Sejarah Politik
Dalam Islam
Islam muncul setelah
kelahiran nabi terakhir, Muhammad SAW dan berkembang di wilayah jazirah Arab.
Lalu setelah wafatnya beliau, urusan pemerintahan dan penyebaran islam mulai
dialihkan kepada sahabat nabi, para ulama’
Ar-Rasyidin, selanjutnya ditangani oleh bani-bani terkemuka dan seterusnya.
Pada waktu itu, islam mengalami masa-masa kejayaan dengan meluasnya daerah
kekuasaan islam hingga ke Eropa, namun konflik-konflik pun tak luput
menghamipiri, salah satunya yang terjadi dalam politik, sehingga menyebabkan
kemunduran islam yang tak bisa dihindari.
Pada masa sebelum
Rasulullah, kekuatan politik dunia Arab berada pada kepala suku yang ada,
sehingga sering kali dimanfaatkan dan diadu domba oleh kekuatan yang lebih
besar untuk menanamkan pengaruh atau kekuasaan mereka disana. Karena situasi
politik yang demikian, maka ketika Muhammad datang dengan misi pembaharuan,
mereka tidak dapat memberi perlawanan yang berarti, sebab sewaktu ada kabilah
yang menentangnya, dengan mudah Muhammad saw segera mendapatkan bantuan dari kabilah
lainnya yang menjadi musuh kabilah yang memusuhi Muhammad saw tersebut (Drs.
Fadil SJ., M. Ag, 2008: 90). Hal tersebut menandakan adanya sistem politik yang
digunakan nabi Muhammad saw dalam mempertahankan islam, yaitu dengan
memanfaatkan musuh lawan.
Kemelut politik pun
mulai muncul pasca wafatnya nabi Muhammad saw. Beliau tidak memberikan petunjuk
atau pesan apapun mengenai pergantian kepemimpinan. Namun, jalan terbaik yang
digunakan para sahabat dan tokoh Islam terkemuka pada waktu itu adalah
musyawarah sehingga diputuskan bahwa Abu Bakar lah yang pantas memegang tambuk
kekuasaan menggantikan Rasululllah.
Pemilihan pemimpin pun
bersifat demokratis meskipun sedikit alot karena mereka saling mengutamakan
calon masing-masing. Namun, sejak kekuasaan islam berada di tangan Bani
Umayyah, demokrasi tidak lagi dipakai dan diganti dengan sistem monarki, yaitu kekuasaan
raja turun temurun. Selain itu, saat Muawiyahibn Abu Sufyan mendapatkan
kedudukan sebagai khalifah tidak melalui musyawarah, melainkan lewat ketajaman
pedang dan tipu muslihat (Drs. Fadil SJ., M. Ag., 2008: 129). Sistem
pemerintahannya pun berubah.
Pada masa Rasulullah,
beliau menggunakan sistem pemerintahan sentralisasi (pusat pemerintahan berada
di Madinah); kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan
khalifah (Dr. Badri Yatim, M. A., 1994: 36), sedangkan mulai kepemimpinan
Khulafaur Rasyidin, sistem itu berubah
menjadi desentralisasi, yaitu pemerintahan dikelola oleh pemerintahan pusat dan
daerah karena luasnya daerah kekuasaan islam.
B.
Kemerosotan Islam Dalam Bidang Politik
Sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-Anfal: 33 dan Ar-Ra’d: 41, bahwasanya faktor penyebab maju
mundurnya masyarakat adalah manusia itu sendiri. Hal itu pun terjadi pada
islam. Mundurnya islam pada waktu itu juga disebabkan oleh masyarakat islam itu
sendiri.
Pergolakan demi
pergolakan kerap kali terjadi antar kaum muslimin. Terlebih lagi setelah
wafatnya Abu Bakar dan Umar. Banyak muslimin yang kecewa terhadap tindakan
Usman yang dianggap kurang tegas terhadap kesalahan bawahannya maupun
keluarganya yang hampir mendominasi jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan.
Selain itu, nasib yang
tak jauh beda bahkan lebih parah pun menghampiri kehidupan Ali saat ia menjadi
khalifah. Banyak sekali pemberontakan yang terjadi bahkan tindakan tersebut
dipimpin oleh kalangan terdekatnya seperti Aisyah, Zubair, dan Thalhah. Peperangan
pun tak dapat dielakkan. Karena ketidakpuasan atas kepemimpinan Ali tersebut,
akhirnya umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, Syi’ah, Mu’awiyah,
dan Khawarij.
Semua peperangan,
pertengkaran, pemberontakan maupun perebutan kekuasaan tersebut terjadi karena
masing-masing suku atau organisasi islam pada waktu itu berebut ingin menjadi
penguasa yang mememipin kepemerintahan islam. Kelebihan politik pada masa
khulafa’ ar-Rasyidin ini adalah pemeilihan pemimpin dipilih secara demokratis
melalui musyawarah.
Beralih pada masa Bani
Umayyah, hal yang paling ditekankan oleh bani ini adalah politik ekspansi
(perluasan wilayah kekuasaan), sehingga kekuasaan islam bertambah luas pada
waktu itu. Namun, hal itu tidak diseimbangi dengan stabilitas politik dalam
negeri. Contohnya saja, tindakan Muawiyah yang melanggar perjanjiian tentang
pergantian kepemimpinan setelahnya yang seharusnya dilakukan secara demokratis
dan diserahkan kepada pemilihan umat islam. Hal tersebut memacu pemberontakan
kaum muslimin dan sering terjadinya perang saudara.1 Disamping itu,
sekitara sepuluh tahun setelah pertempuran di daerah Spanyol dan di wilayah
baratdaya Perancis, banyak pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Timur
Tengah. Hal ini menandai mulai jatuhnya dinasti Bani Umayyah (Dr. Nurcholish
Madiid, 1997: 12).
Kelabilan politik
terlihat dengan adanya kelompok oposisi kaum Syi’ah yang bahkan kemudian mengadakan konsolidasi
(penggabungan) dengan Abbasiyah. Hal itu mengakibatkan jatuh dan berantakannya
pemerintahan Bani Umayyah selang beberapa saat (Drs. Fadil SJ., M. Ag, 2008:
130). Selain itu, kurangnya perhatian penguasa terhadap rakyatnya juga menjadi
salah satu pe[1]nyebab
lengsernya kekuasaan Yazid, putra Umayyah.
Sebenarnya sejarah
politik dunia Islam dibagi menjadi tiga periode : Pertama, periode klasik
(650-1250); kedua, periode pertengahan (1250-1800); dan periode modern (1800 - sekarang)(Dr. Badri Yatim, M. A.,
1994: 6). Dalam hal ini, dinasti bani Abbasiyah merupakan periode klasik. Dalam
periode pertama banyak tantangan dan
gangguan yang dihadapi oleh dinasti Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang
merongrong pemerintah dan mengganggu stabilitas muncul dimana-mana, baik
gerakan dari kalangan intern bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun,
semuanya dapat diatasi dengan baik.
Keberhasilan penguasa
Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri ini memantapkan posisi dan kedudukan
mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan betul – betul berada di tangan
khalifah, dan periode ini sangat berbeda dengan periode-periode sesudahnya.
Setelah periode pertama berlalu para khalifah sangat lemah. Mereka berada dalam
pengaruh kekuasaan yang lain. Selain itu, gerakan fanatisme yang
merupakan gerakan syu’ubiyah (anti-Arab) yang memang telah muncul pada periode
pertama pemerintahan ternyata juga merupakan suatu ancaman untuk masa depan
Bani Abbasiyah
Ada kemungkinan bahwa
para khalifah Abbasyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari profesi-
profesi tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya, pertama mungkin para
khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya, kedua,
penguasa bani abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan
daripada politik dan ekspansi.
Perkembangan peradaban
dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode
pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung
mencolok. Kehidupan mewah khalifah - khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan
anak – anak pejabat. Bukan hanya itu, para penguasa Bani Abbas juga menjalankan
kebijaksanaan politik yang mengklasifikasikan masyarakat menjadi beberapa
golongan: golongan kaya yang hidup bermewah-mewahan, golongan miskin yang
hina-dina, golongan yang hidup penuh santai berfoya-foya dan golongan yang
bekerja keras membanting tulang untuk mencari nafkah. Hal itu menyebabkan
perbedaan kasta yang sangat mencolok
(Ahmad Amin: 1987, 119). Masyarakat yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan
semakin tenggelam dalam kemiskinannya.
Salah satu kelalaian
yang dilakukan oleh bani Abbasiyah dalam bidang politik adalah memperkerjakan
dan memberikan kedudukan yang tinggi pada bangsa-bangsa lain seperti halnya
Persia, Turki, dan sebagainya. Sehingga, kekuasaan islam dapat berpindah tangan
pada mereka dengan mudah. Kebijaksanaan yang lebih menekankan pada pembinaan,
peradaban dan kebudayaan islam dari persoalan politik itu juga mengakibatkan
profinsi- profinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
bani Abbas.
Hal tersebut bisa
terjadi dalam salah satu dari dua cara; pertama, seorang pemimpin lokal
memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti
daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisyyah di Marokko. Kedua, seseorang yang
ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat
seperti daulat Aghlabiah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan. Kecuali, bani
Umayyah di spanyol dan Idrisyyah di Marokko, propinsi-propinsi itu pada mulanya
tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan
khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun, pada saat
wibawa khalifah sudah memudar, mereka melepaskan diri dari kekuatan khalifah,
tetapi beberapa diantaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Selain itu, tokoh-tokoh
yang dianggap sebagai saingan bani Abbasiyah satu per satu disingkirkan. Seperti, Abu Muslim yang dikhawatirkan
menjadi saingan, akhirnya dihukum mati pada tahun 755 M.2 Hal
tersebut mencerminkan sistem politik pada saat itu tidak bagus atau kacau
balau.
Beberapa ciri yang
menonjol pada Bani Abbsiyah yang tidak terdapat pada Bani Umayyah:
1. Berpindahnya
ibukotake Baghdad membuat pemerintahan Bani Abbas jauh dari pengaruh Arab islam
dan lebih cenderung terpengaruh kerajaan Persia;
2.
Adanya wazir yang membawahi kepala-kepala departemen dalam penyelenggaraan
negara; dan
3.
Ketentaraan nasional baru terbentuk di masa Bani Abbasiyah.
C.
Masa Disintegrasi
Keruntuhan kekuasaan
Bani Abbas mulai terlihat pada awal abad kesembilan bersamaan dengan datangnya
pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu
yang membuat mereka independen. Kondisi politik islam yang kurang stabil ini memberi
peluang kepada tentara professional asal Turki yang semula diangkat oleh
Khalifah al – Mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan. Masuknya unsur
Turki dalam pemerintah Abbasiyah semakin menambah persaingan antar bangsa. Al
Mu’tashim dan khalifah sesudahnya, al Watsiq, mampu mengendalikan mereka.
Namun, khallifah al Mutawakkil yang merupakan awal kemunduran politik Bani
Abbas, adalah khalifah yang lemah karena pada saat itu, orang-orang Turki dapat
mengambil alih kekuasaan dengan cepat. Setelah beliau wafat, orang Turki lah
yang memilih dan mengangkat khalifah.3
Perlahan tapi pasti
kemunduran islam mulai terlihat. Pada masa disintegrasi (1000-1258 M), keutuhan
umat islam dalam bidang politik mulai retak. Kekuasaan khalifah menurun dan
Baghdad dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu. Sebenarnya disintegrasi politik
mulai terjadipada masa Bani Umayyah, tapi baru mencapai puncaknya pada masa
Bani Abbasiyah karena para gubernur memisahkan diri dari pemerintah pusat dan
memproklamirkan dirinya sebagai “khalifah-khalifah kecil” yang mandiri dan
berkuasa penuh, sehingga muncullah dinasti-dinasti kecil.
Semakin lama
daerah-daerah yang memisahkan diri semakin banyak. Mereka berlomba-lomba
mendirikan suku atau dinasti kecil yang kuat agar bisa berdiri sendiri, bila
perlu menguasai pemerintahan islam di suatu daerah dan menghancurkan kubulawan,
meskipun sebenarnya mereka juga sama-sama orang islam.
Dalam bukunya yang
berjudul Islam Doktri, Pemikiran, dan Realitas Hisroris, Nur Hakim
mengemukakan bahwa munculnya dinasti-dinasti kecil juga dilatarbelakangi oleh
persaingan antar bangsa, disamping kesalahpahaman, yang ditandai dengan
menurunnya kharisma istana, ketidakjelasan mekanisme politik, administrasi
negara, kemerosotan ekonomi, dan munculnya pemberontakan.
Ada tiga penyebab
khusus lahirnya dinasti-dinasti kecil:
1. Secara geografis,
jarak antara pemerintaha pusat dengan wilayah yang sangat jauh,
2.
Secara politis, para gubernur menginginkan otonomi kekuasaan,
3.
Secara ideologis, adanya pertentangan faham antara Baghdad yang Sunni dan
beberapa wilayah Syi’i.4
D.
Perbandingan Sistem Politik Sebelum Dan Ketika
Kemerosotan Islam
Pada masa Umayyah, sistem
politiknya menekankan pada ekspansi atau perluasan wilayah, sedangkan Abbasiyah
tidak menggunakan ekspansi lagi, melainkan lebih terfokus pada pelestarian
peradabannya. Jika Nabi Muhammad dan para khulafa ar-Rasyidin menggunakan
sistem demokrasi dalam pemilihan pemimpin, kedua bani (Umayyah dan Abbasiyah)
justru menggunakan sistem monarki (kerajaan) yang cenderung bercorak Persia.
Kecurangan-kecurangan yang dilakukan dikalangan penguasa pun kerap kali
terjadi. Hal ini lah awal mula yang memacu perselisihan dalam islam. Selain
itu, pemerintahan islam pertama kali menggunakan sistem sentralisasi yang
berpusat di Madinah, namun setelah wilayah kekuasaan islam semakin luas, sistem
tersebut diganti dengan desentralisasi yang perpusat pada setiap propinsi.
Karena luasnya daerah kekuasaan islam sedangkan khilafah pada masa itu
(Abbasiayah) tidak bisa mempertahankannya, maka terjadilah disintegrasi yang
mengawali pembentukan dinasti-dinasti kecil dan perebutan daerah kekuasaan satu
sama lain. Apalagi pada waktu Bani Abbasiyah, para penguasanya tidak terlalu
memikirkan rakyatnya dan terlalu senang berfoya-foya, sehingga keadaan tersebut
menyebabkan kemerosotan islam yang tidak diinginkan.
Faktor-faktor yang
menyebabkan kemunduran Bani Umayyah:
1. Sistem pergantian
khalifah melalui garis keturunan yang dianggap tidak jelas pengaturannya dan
menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak;
2.
Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah yang tidak bisa terlepas
dari konflik politik yang terjadi pada masa Ali, sehingga terbentuknya beberapa
aliran oposisi;
3.
Pertentangan etnis suku Arabia Utara dan Arabia Selatan yang semakin
meruncing yang menyulitkan para penguasa untuk menggalang persatuan dan
kesatuan;
4.
Lemahnya pemerintahan pada Bani Umayyah karena terlalu terlenanya pada
harta danhidupmewah; dan
5. Munculnya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan Abbas hingga akhirnya membentuk dinasti
Bani Abbasiyah.5
Faktor-faktor yang
menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah:
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan
daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di
kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat lemah.
2.
Dengan profesionalitas angkatan
bersenjata, ketergantungan khalifah pada mereka sangat tinggi.
3.
Keuangan Negara sangat sulit
karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara, bayarannya sangat besar. Pada saat
kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke
Baghdad.6
0 komentar:
Posting Komentar