PEMBAHASAN
A. Definisi Al-‘adat
Sebuah
adat kebiasaan bisa dijadikan Sandaran Hukum Kaidah Fiqh. Seperti yang
dijelaskan oleh Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf bahwa makna kaidah secara bahasa “ Al adatu “ (العادة) terambil dari
kata “ al audu” (العودdan
“ al muaawadatu “ ( الموادة) yang berarti “pengulangan”. Oleh karena itu, secara
bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan
berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut
jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah’
adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan. Sedangkan “Mukhakkamatun”
secara bahasa adalah isim maf’uI dari “takhkiimun” yang berarti “menghukumi
dan memutuskan perkara manusia.” Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah
sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara
perselisisihan antara manusia.
B. Antara al ‘urf dan al ‘adah
Kata
‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan “adat kebiasaan” namun
para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf
adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia. Demikianlah
yang di katakan oleh Imam al-Jurjani dalam at-Ta’rifat hal. 154, kemudian
beliau berkata: “Begitu jugalah makna Al ‘Adah”. Meskipun arti kedua kata ini agak
berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua
kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun ápabila berpisah maka
artinya sama, seperti halnya kata “Islam” dengan “Iman”. Al-‘adat dan ‘Urf seperti halnya suatu rangkaian
dimana ‘Urf merupakan penguat dari Al-‘adat[1].
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah
para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan ‘urf itu bisa dijadikan
sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash
syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya. Syaikh as-Sa’di
dalam al-Qowa’id al-Jami’ah (hal. 35) mengatakan bahwa: ”Urf dan adat kebiasaan
dijadikan rujukan dalam semua hukum syar’i yang belum ada ketentuannya.”
Definisi
lain mengatakan bahwa al ‘urf yaitu
apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang dan telah menjadi
tradisi. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau hal yang meninggalkan sesuatu
dinamakan juga sebagai ‘adat. Oleh
karena itu bisa disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara ‘urf dan ‘adat.
Tetapi ada sebagian ulama ushul fiqh yang membedakan antara adat dengan ‘urf
dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum
syara’.
Sebagian
ulama ushul fiqh mendefinisikan ‘urf/‘adat dengan:
الأمر المتكرر من غير
علا قة عقلي
“sesuatu yang dikerjakan secara
berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”.
Definisi
di atas menunjukkan bahwa bila
sesuatu dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan
adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat
luas, yang menyangkut masalah pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam makan,
tidur, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Adat juga bisa muncul dari
sebab alami seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daeran tropis, dan
di daerah dingin terjadi kelambatan seseorang menjadi baligh. Di samping itu adat juga
bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak seperti korupsi.
Definisi lain yang membedakan al ‘urf dan
‘adat adalah:
عادة
جمهورقوم في قول أوفعل
“Kebiasan
mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”.
Berdasarkan definisi ini, Musthofa
al-Zarqa’ (guru besar Fiqh Islam di Yordania), mengatakan bahwa ‘urf merupakan
bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus
berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau
kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku
dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman,
seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan
bahwa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga pada suatu perkawinan bisa diambil
dari mas kawin yang diberikan suami dan penetapan ukuran tertentu dalam
penjualan makanan.
Selain itu, bagi mereka yang
membedakan Al-‘dat dan ‘Urf, mereka melihat dari segi maknanya. Al-‘adat
bermakna pengulangan. Suatu hal yang tidak dilakukan berulang atau hanya pernah
dilakukan sekali, tidak bias dikatakan Al-‘adat. Yang dititikberatkan dalam hal
ini adalah seberapa banyak hal tersebut dilakukan. Sedangkan ‘Urf tidak dilihat
dari segi ‘pengulangannya’. Asalkan sesuatu itu dikenal dan dinilai baik serta
diterima orang banyak, meskipun hanya pernah dilakukan sekali, maka sudah bisa
dikatakan ‘Urf.
C. Alasan Al-‘adat dapat
dijadikan dalil
1. Hadist nabi yang berbunyi:
ما رأه
المسلم حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka
hal itu pula baik di sisi Allah”
Hadist tersebut juga berkaitan dengan firman Allah
dalam surah Al-Hajj ayat 78 yang berbunyi:
ما جعل
عليكم في الد ين من حرجت
“Dan Allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan agama”
Selain itu, Imam
al-Sarkhasyi dalam kitab Al-Masbuth juga mengemukakan:
الثا بت
بالعرف كالثا بث بالناس
“Sesungguhnya yang ditetapkan ‘urf, seperti yang
ditetapkan dalil nash”
Dari hadist dan firman di
atas, dapat diambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang dianggap baik dan
diterima dalam suatu masyarakat, maka hal tersebut juga akan baik menurut Allah
karena apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka akan menimbulkan kesulitan
dalam masyarakat tersebut. Selain itu, segala yang telah ditetapkan dalam adat
sama halnya dengan yang telah ditetapkan oleh dalil dalam nash yang masalah
yang tidak terdapat nash dalam penyelesaiannya.
2.
Hukum Islam dalam kitab memelihara hukum-hukum Arab yang maslahat
seperti menghormati tamu, dan sebagainya.
3.
Al-‘adat merupakan kebiasaan manuasia, baik merupakan perbuatan maupun
perkataan. Dimana hal tersebut berjalan sesuai dengan aturan hidup manusia dan
kebutuhannya.
D. Tujuan Al-‘adat
Tujuan dari Al-‘adat itu
sendiri ialah mewujudkan kemaslahatan dan kemudahan terhadap kahidupan manusia
umumnya. Al-‘adat tersebut tidak akan pernah terlepas dari kebiasaan sekitardan
kepentingan hidupnya.
E.
Syarat penggunaan Al-‘adat sebagai hujjah
Dalam menggunakan suatu ‘adat sebagai hujjah, ada batasan-batasan atau syarat yang
harus dipenuhi oleh ‘adat itu sendiri. Hal tersebut sangat diperlukan agar
seseorang tidak sembarangan menggunakan ‘adat tersebut. Berikut ini adalah syarat-syaratnya:
1.
‘Adat yang digunakan tersebut tidak bertentangan dengan nash yang telah
jelas; baik Al-Qur’an maupun hadist
2.
Al ‘Adat tersebut tidak mengandung kemafsadatan, tidak menimbulkan
kesulitan ataupun menghilangkan
kemaslahatanketika diaplikasikan
3.
‘Adat itu secara umum telah dilakukan oleh umat Islam (muslimin) bukan
hanya yang biasa dilakukan satu atau dua orang saja.
4.
‘Adat yang dimaksud tidak belaku untuk ibadah mahdlah.
Jika dilihat dari segi
syarat-syaratnya, maka penggunaan ‘Adat hampir sama dengan maslahah mursalah.
Bedanya adalah ‘adat merupakan hal yang sudah merupakan kebiasaan yang
dilakukan oleh manusia pada umumnya dan memenuhi syarat diatas (Al-‘adat
al-shahih), sedangkan maslahah mursalah bisa digunakan untuk sesuatu atau hal
yang belum biasa dilakukan sebelumnya.
Selain itu, perlu diketahui
bahwasanya Al-‘adat berbeda dengan ijma’, meskipun sama-sama membutuhkan
kuantitaas pelaku dari sesuatu tersebut. Hal yang membedakan kedua hal itu
adalah:
1.
Dalam ‘Adat diperlukan persesuaian di antara banyak orang; baik orang
tersebut adalah orang baik maupun orang biasa, pandai, ahli ijtihad atau orang
bodoh. Hal tersebut tidak terlalu diperhitungkan. Namun, dalam ijma’ perlu kebulatan pendapat dari para ahli jima’
saja.
2.
Penyimpangan yang dilakukan beberapa orang dalam’Adat tidak menggugurkan
atau mempengaruhi nilai ‘ada tersebut. Sebaliknya, perbedaan pendapat seorang
mujtahid saja dalam ijma’ dapat membatalkan keabsahan ijma’.
3.
Nilai hukum yang dihasilkan dengan ijma’ yang shahih sama dengan hukum
yang sandarannya adalah nash. Sedangkan hukum yang dihasilkan dengan ‘Adat, bisa
berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi pada ‘adat itu sendiri dan
kekuasaannya pun tidak sebanding dengan hukum yang sandarannya ijma’ atau nash.
F. Macam-macam Al-‘adat atau
‘Urf
Para ulama
ushul fiqh membagi ‘urf dalam tiga bagian besar yang mana di dalamnya dibagi
lagi jadi beberapa bagian di masing-masing bagian besar
1.
Segi objeknya
-
Al ‘urf al lafzhi
Al ‘urf العرف اللفظيlafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam
menggunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna
ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya
ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata daging mencakup semua
jenis daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan
penjual itu memiliki berbagai macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli
daging satu kilogram”, pedagang akan langsung mengambilkan daging sapi, karena
kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada
daging sapi. Contoh lain,
orang-orang biasanya cenderung mengatakan walad untuk anak laki-laki
saja. Padahal walad tersebut dapat bermakna anak;
baik laki-laki maupun perempuan.
Apabila dalam memahami ungkapan tersebut diperlukan
indikator lain, maka tidak dinamakan ‘urf, misalnya, seseorang datang dalam keadaan marah
dan di tangannya ada tongkat kecil, seraya berucap “jika saya bertemu dia saya
akan bunuh dia dengan tongkat ini”. Dari ucapan ini dipahami bahwa yang dia
maksud dengan membunuh tersebut adalah memukulnya dengan tongkat. Ungkapan
seperti ini, menurut ‘Abdul ‘Aziz al
Khayyat (guru besar Fiqh di Universitas Amman, Yordania), tidak dinamakan ‘urf , tetapi termasuk dalam majaz (metafora).
-
Al ‘urf ‘amali
‘Urf ‘amali
adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau
mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud dengan “perbuatan biasa” adalah perbuatan
masyarakat dalam kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang
lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu,
kebiasaan masyarkat tertentu memakan makanan khusus atau minuman tertentu dalam
acara khusus. Contoh lain, Misalnya, dalam
melakukan transaksi jual beli barang seperti gula atau garam. Orang-orang (penjual maupun pembeli) biasa tidak
mengucapkan ijab qobul saat melakukan serah-terima barang.
2.
Segi cakupannya
-
Al ‘urf al ‘am
Al’ urf al ‘am
العرف العام yaitu
Sesuatu tersebut merupakan suatu kebiasaan yang memang biasa dilakukan oleh
orang banyak atau dilakukan oleh orang-orang di setiap tempat maupun di
berbagai lapisan masyarakat. Misalnya, memesan barang yang belum jadi atau ada
pada saat itu. Contoh lain urf yaitu dalam penggunaan kamar
mandi di tempat umum dengan tarif harga tertentu, namun batas penggunaan waktu
dan jumlah pemakaian air tidak ditentukan. Kebiasaan seperti ini berlaku hampir
di setiap daerah atau paling tidak berlaku tidak hanya di dalam satu daerah
saja.
-
Al ‘urf al khash
Al
‘urf al khash العرف الخاص yaitu urf yang
berlaku hanya di daerah tertentu saja atau bahkan hanya pada satu wilayah. Dimana
urf itu mungkin tidak berlaku di daerah lain. Seperti kebiasaan seorang calon
suami memberi sesuatu kepada tunangannya ketika melakukan khitbah/ta’aruf
3.
Segi keabsahannya
-
Al ‘urf al shohih
Adat yang
benar (shahih) Yaitu suatu
kebiasaan yang dianggap benar dan dikenal baik dalam suatu masyarakat. Hal itu
juga tidak menentang nash yang telah jelas dan ada serta tidak menjadikan yang
halal menjadi haram ataupun sebaliknya. Seperti anggapan
bahwa apa yg diberikan pihak laki-laki kepada calon istri ketika khitbah
dianggap hadiah, bukan mahar.
-
Al ‘urf al fasid
Adat yang salah (fasid) Yaitu ‘adat (kebiasaan) yang dipakai tidak memenuhi salah satu syarat
yang telah disebutkan di atas. Dalam hal ini, kebiasaan itu telah ada dan
diakui dalam suatu masyarakat, namun bertentangan dengan ajaran Islam. ‘Adat
yang dimaksud ini seringkali bertentangan dengan nash yang qath’i, sehingga tidak dapat dijadikan dalil untuk
meng-istinbath-kan hukum. Misalnya, perbuatan-perbuatan yang munkar yang telah
menjadi tradisi. Seperti tari perut di Mesir saat pesta perkawinan.
G. Kehujjahan
al ‘urf
Para ulama sepakat bahwa urf
fasid tidak dapat dijadikan hujjah di dalam hukum Islam. Sedangkan urf yang
shahih ada ikhtilaf/kontroversi ulama di dalamnya. Kebanyakan ulama hanafiyyah
dan malikiyyah serta beberapa dari hanbaliyyah bisa menerimanya. Adapun alasan
yang mereka jadikan hujjah dalam menerima dalil urf adalah :
1. Firman Allah:
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين
Kata urf ( العرف ) dalam ayat tersebut dipahami oleh para ahli ushul fiqh sebagai sesuatu
yang baik dan menjadi kebiasaan masyarakat. Hal itu menunjukkan akan kebolehan
berhujah dengan al Urf jika suatu permasalahan tidak ditemukan dalilnya dalam
nash.
2. Riwayat hadits dari aisyah mengenai kasus hindun
binti ‘utbah; istri abu sufyan
“جاءت هند بنت عتبة فقالت “ يا رسول الله إن أبا
سفيان رجل مسيك فهل علي حرج أن أطعم من الذي له عيالنا قال لا إلا بالمعروف
Dari aisyah ra,
bahwasanya hindun binti ‘utbah mengadu kepada rasulullah: “ ya rasulullah !
sesungguhnya abu sufyan adalah lelaki yang bakhil, tidak memberi nafkah yang
cukup kepadaku dan anak-anakku kecuali apa yang telah aku ambil darinya
dan dia tidak mengetahuinya”. Maka rasulullah SAW bersabda: ”ambillah nafkah
yang cukup untukmu dan anak-anakmu sesuai dengan ma’ruf (kebiasaan) nafkah yang
berlaku”.
Dari hadits ini kita ketahui
bahwasanya rasul menyuruh Hindun untuk mengambil harta sesuai dengan takaran
yang telah berlaku/normal di dalam masyarakat arab sebagai nafkah bagi dia dan
anak-anaknya.
3. Rasulullah SAW membiarkan praktek bai’
al salam yang telah lama berlaku dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat
madinah.
4. Hadits dari rasulullah mengenai pandangan
baik muslim yang baik juga menurut Allah
ما
راه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن
“Apa-apa
yang dilihat oleh orang Islam sebagai sesuatu yang baik, maka yang demikian di
sisi Allah juga baik.”
5.Qaidah
ushul
استعمال الثاس حجة يجب العمل بها
“Kebiasaan umum adalah dasar yang harus dipatuhi”
المعرؤف
عرفا كالمشرؤط شرطا
“Adanya apa yang dikehendaki oleh adat
dianggap sebagai hal yang dikehendaki oleh syara’”
العادة
محكمة
“Adat adalah sebuah ketentuan hukum”
H. Kedudukan ‘Urf sebagai metode
istinbath
Syatibi menilai semua mazhab fiqh menerima dan
menjadikan urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum ketika tidak
ada nash menjelaskan hukum yang muncul di masyarakat. Misalnya, penggunaan jasa
pemandian oleh seseorang dengan membayar harga tertentu. Realitanya, lama waktu
dan banyak air yang dipakai seseorang di jasa pemandian tidak jelas. Padahal,
dalam aturan transaksi hukum Islam keduanya harus jelas. Namun, perbuatan
seperti ini telah meluas di kalangan masyarakat Islam sehingga para ulama
memandang transaksi itu sah dengan didasarkan pada urf al-‘amali
Maka
daripada itu, untuk para mujtahid yang ingin membuat hukum yang disandarkan
pada ‘Adat, diharuskan mengenal ‘adat kebiasaan manusia atau kebiasaan
masyarakat di suatu daerah tertentu. Sehingga, ketika memutuskan hukum tersebut
tidak akan ada kemafsadatan, kemudharatan ataupun pelanggaran yang bertentangan
dengan ajaran Islam.
Dengan adanya Al-‘adat atau ‘Urf ini menampakkan bahwasanya Islam tidak
kaku. Islam dapat mempertimbangkan atau menerima, menghargai serta
menghormati budaya lain selama hal itu tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
I.
Kaidah yang berlaku bagi ‘Urf
Hukum yang
pada mulanya dibentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah jika ‘urf
itu berubah. تغير الأحكام بتغير الأزمان والأمكنة
Contoh yang disandarkan kepada ‘urf,
QS. Al-Baqarah: 233
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”
Ayat tsb
tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan seorang ayah kepada
para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu merujuk kepada adat yang
berlaku dalam satu masyarakat dimana ia berada.
Jadi, tidak heran jika terjadi banyak perbedaan
pendapat yang disandarkan pada ‘adat yang shahih. Hal itu disebabkan perbedaan
tempat atau waktu saja. Al-‘adat bukanlah dalil yang mustaqil yang dapat
memberikan hokum terhadapsuatu perkara, melainkan sebagai washilah untuk
memahami apa yang telah ada di nash guna mengkhususkan yang masih umum,
mentaqyidkan yang mutlak, memberikan kerukhshahan serta menghindari
kemudaratan.
Bahkan Al Qarafy dalam kitab
Qawaid-nya mengatakan: “Bila dating kepada anda seseorang dari luar benuamu,
maka janganlah anda berlakukan terhadap mereka ‘urf negeri anda dan ketetapan
yang terdapat dalam buku anda.”[2]
J.
Hokum Al-‘adat atau ‘Urf
Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembetukan
hukum syara’ dan putusan perkara. Seorang Mujtahid harus memperhatikan hal ini
dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu
dalam setiap putusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh
manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya.
Selama ini tidak bertentangan dengan syara’ maka harus harus dijaga. Syari’
telah menjaga adat yang benar di antara adat orang Arab dalam pembentukan
hukumnya. Seperti menetapkan kewajiban denda atas orang perempuan berakal,
mensyaratkan adanya keseimbangan (kufu’) dalam perkawinan dan
memperhitungkan ahli waris yang tidak mendapat bagian pasti dalam perwalian dan
pembagian ahli waris.
Oleh karena
itu para ulama berkata: Adat adalah syariat yang dikuatkan sebagai hukum,
sedangkan adat juga dianggap oleh syara’. Imam Malik membentuk banyak hukum
berdasarkan perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para muridnya berbeda
dalam menetapkan hukum, tergantung pada adat mereka. Imam Syafi’I ketika berada
di Mesir, mengubah sebagian hukum yang ditetapkan ketika beliau berada di
Baghdad karena perbedaan adat. Oleh karena itu ia memiliki dua pendapat,
pendapat baru dan pendapat lama.
Hukum yang
didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena
masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam
hal perbedaan pendapat ini para ulama fikih berkata: Perbedaan itu adalah pada
waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.
Kebiasaan
secara hakiki bukanlah merupakan dalil syara’ yang tersendiri. Pada umumnya, ia
termasuk memperhatikan kemaslahatan umum. Yakni, sebagaimana adat diperhatikan
juga dalam memberikan penafsiran nash, mentakhsis yang umum, dan membatasi yang
mutlak. Dan kadang-kadang kias ditinggalkan demi adat. Maka hukumnya sah akad
meminta pekerjaan karena berlaku menurut adat, bila menurut kias hukumnya tidak
sah karena akad pada sesuatu yang tidak wujud.
K. Syarat-syarat Al-‘adat atau
‘Urf agar dapat diterima
Syarat-syarat ini
dikemukakan oleh Amir Syarifuddin. Ada beberapa syarat, yakni:
1.
‘Urf itu mengandung kemaslahatan dan logis
Syarat ini merupakan sesuatu yang mutlak ada pada ‘Urf
yang shahih sehingga dapat diterima oleh masyarakat umum.
2.
Berlaku umum pada masyarakat yang terkait dengan lingkungan ‘Urf, atau
minimal di kalangan sebagian besar masyarakat.
3.
‘Urf tersebut berlaku pada saat itu, bukan ‘Urf yang muncul kemudian.
4.
Tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan
prinsip yang asli.
L. Perbenturan dalam Urf
1. Perbenturan Urf dengan
Syara’
Yang dimaksud
perbenturan (pertentangan) antara ‘Urf dengan syara’ di sini adalah perbedaan
dalam hal penggunaan suatu ucapan ditinjau dari segi urf dan dari segi syara’.
Hal inipun dipisahkan pada perbenturan yang berkaitan dengan hukum.
1. Bila perbenturan urf dengan syara’ itu tidak berkaitan
dengan materi hukum, maka didahulukan urf.
Contohnya Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan
daging, tetapi ternyata kemudian ia memakan ikan, maka ditetapkanlah bahwa ia
tidak melanggar sumpah. Menurut urf, ikan itu tidak termasuk daging, sedangkan
dalam arti syara’ ikan itu termasuk daging seperti tercantum dalam ayat Al
Qur’an.
2. Bila berbenturan urf dengan syara’ dalam hal yang
berhubungan dengan materi hukum, maka didahulukan syara’ atas urf.
Contohnya, bila seseorang berwasiat untuk kerabatnya,
apakah termasuk dalam pengertian kerabat itu ahli waris atau tidak. Berdasarkan
pandangan syara’ ahli waris itu termasuk kepada ahli yang boleh menerima wasiat
oleh karenanya ia tidak lagi termasuk dalam pengertian kerabat yang dimaksud di
sini. Dalam pengertian urf kerabat itu adalah orang yang berhubungan darah,
baik ia ahli waris atau tidak.
2. Perbenturan antara urf
(urf qauli) dengan penggunaan kata dalam pengertian bahasa.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
1. Menurut Qadhi Husein, hakikat penggunaan bahasa adalah
beramal dengan bahasa. Bila berbenturan pengalaman bahasa itu dengan urf, maka
didahulukan pengertian bahasa
2. Menurut Al-Baghawi, pengertian urf lah yang didahulukan,
karena urf itu diperhitungkan dalam segala tindakan, apalagi dalam sumpah
3. Menurut al-Rafi’i, sebagian sahabat cenderung
menguatkan pengertian bahasa, namun sebagian lain menguatkan pengertian urf.
3. Perbenturan
urf dengan umum nash yang perbenturannya tidak menyeluruh.
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Menurut ulama Hanafiyah, urf dikuatkan untuk
mentakhsis umum nash. Contohnya, dalam ayat Al Qur’an dijelaskan bahwa masa
menyusukan anak, yang sempurna adalah selama 2 tahun penuh. Namun menurut adat
bangsawan Arab, anak-anak disusukan orang lain dengan mengupahnya. Adat ini
digunakan untuk mentakhsis umum ayat tersebut. Jadi, bangsawan yang biasa
mengupahkan untuk penyusuan anaknya, tidak perlu menyusukan anaknya itu selama
2 tahun.
2. Menurut ulama Syafi’iyah, yang dikuatkan untuk
mentakhsis nash yang umum itu hanyalah urf qauli bukan urf fi’li.
4. Perbenturan
urf dengan qiyas
Hampir semua ulama berpendapat untuk mendahulukan urf atas
qiyas, karena dalil untuk menggunakan urf itu adalah kebutuhan dan hajat orang
banyak, sehingga ia harus didahulukan atas qiyas.
M. Contoh-contoh kasus adat atau urf
· Pada
zaman sebelum Islam datang, ada suatu adat yang biasa dilakukan orang Arab
yaitu ketika ada seseorang yang membunuh, maka ia harus membayar diyat
(uang tebusan darah) kepada pihak keluarga yang terbunuh. Karena adat atau urf
ini tidak bertentangan dengan syariat dan dapat terus diberlakukan, maka adat
ini ditetapkan menjadi hukum Islam.
· Ketentuan
ashabah dalam hukum Islam sebenarnya merupakan ketentuan dalam adat masa
jahiliyah jahiliyah di masyarakat Arab, dimana ynag berhak menerima harta
warisan dari yang meninggal hanyalah keturunan laki-laki terdekat yang
dihubungkan kepada pewaris melalui garis laki-laki. Al-Qur’an memperkenalkan
kewarisan furudh yang pada umumnya adalah perempuan. Dalam hal ini Nabi
mengambil kebijaksanaan untuk mengakui kewarisan menurut adat, tetapi kewarisan
menurut furudh yang ditetapkan dalam Al-Qur’an harus lebih dahulu dilakukan.
Seandainya telah selesai pembagian untuk ahli waris yang termasuk dalma
ketentusn furudh dan masih ada sisanya, barulah diperlakukan kewarisan ashobah.
· Zihar yaitu ucapan suami yang menyamakan istrinya
(punggungnya) dengan ibunya sendiri. Zihar ini merupakan cara yang sudah
biasa berlangsung dikalangan masyarakat Arab sebagai usaha suami untuk
menceraikan istrinya. Sesudah suami melakukan zihar, maka suami dan
istrinya tidak diperbolehkan lagi berhubungan dan putuslah hubungan mereka
sebagai suami istri. Islam menerima zihar tersebut dengan perubahan,
yaitu zihar dinyatakan menyebabkan suami istri tidak boleh berhubungan
kelamin, namun tidak memutuskan perkawinan. Bila keduanya akan berhubungan
lagi, terlebih dahulu harus membayar kafarah, (kewajiban agama akibat suatu
pelanggaran).
Daftar
Pustaka
Abdullah, DR. H. Sulaiman. 1995. Sumber
Hukum Islam. Jakarta; Sinar Grafika
Aen.
M. A., Dr. I. Nurol dan Prof. Drs. H. A. Djazuli. 2000. Ushul Fiqh
Metodologi Hukum Islam. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada
Haroen, M. A., DR. H. Nasrun. 1997. Ushul
Fiqh. Jakarta; Logos Wacana Ilmu.
Khallaf,
Prof. Dr. Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam.
Jakarta; Pustaka Amani
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 2005. Ilmu
Usul Fiqh. Jakarta; Rineka Cipta
Khallaf,
Prof. Dr. Abdul Wahhab. 1994. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh).
Jakarta; PT Raja Grafindo
Syarifuddin,
Prof. Dr. H. Amir. 2008. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta; Kencana Prenada
Media Group
Syarifuddin,
Prof. DR. Amir. 2004. Ushul Fiqh Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam
Secara Komprehensif. Jakarta Timur; Penerbit Zikrul Hakim
0 komentar:
Posting Komentar