li Syari’ati dikenal sebagai pemikir yang multi-dimensi dan, karenanya
juga, multi-interpretable. Tetapi para pengamat juga dapat melihat
semacam pandangan dunia (weltanschauung) yang cukup konsisten dalam
tulisan-tulisannya. Pandangan dunia Ali Syari’ati yang paling menonjol
adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat
dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya. Dalam konteks ini
Syari’ati dapat disebut pemikir politik-keagamaan (politico religio
thinker).[1]
Salah satu tema sentral dalam ideologi politik
keagamaan Syari’ati adalah agama – dalam hal ini, Islam – dapat dan
harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk
membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural mapun politik.
Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya – yang belum dikuasai
kekuatan konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah
pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural
Barat. Ia merupakan problem akut yang dimunculkan kolonialisme dan
neo-kolonialisme yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar tradisi
mereka.[2]Atas dasar ini, maka banyak pengamat menyebut Syari’ati
sebagai “the ideologist of revolt”.[3]
Dalam pandangan Syari’ati,
agama sebagai ideologi diartikan: “suatu keyakinan yang dililih secara
sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang timbul dan memecahkan
masalah-masalah dalam masyarakat”. Ideologi dibutuhkan, menurut
Syari’ati, untuk mengarahkan suatu masyarakat atau bangsa dalam mencapai
cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi dipilih untuk mengubah dan
merombak status quo secara fundamental.[4]
Menurut Ali Syari’ati,
ada dua jenis agama dalam tahap sejarah. Pertama, agama sebagai
ideologi dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi dan konversi sosial
atau juga sebagai semangat kolektif suatu kelompok. Is menggambarkan
kedudukan agama sebagai ideologi dengan pernyataan:
But one comes
to understand Islam in the sense of an ideology in another way. Islam,
as an ideology, is not a scientific specialization but is the feeling
one has in regard to a school of thought as a belief ystem and not as a
culture. It is the perceiving of Islam as an idea and not as a
collection of sciences. It is the understanding of Islam as a human,
historical and intellectual movement, not as a storehouse of cientific
and technical information. And, finally, it is the view of Islam as an
ideology in the minds of an intellectual and not as ancient religious
sciences in the mind of a religious scholar.(Tetapi orang datang untuk
memahami Islam dalam pengertian suatu ideologi di dalam pandangan yang
lain. Islam, sebagai suatu ideologi, bukanlah suatu spesialisasi ilmiah
tetapi adalah kepekaan seseorang yang mempunyai hubungan dengan suatu
aliran pikiran lebih sebagai sistem kepercayaan dan bukan sebagai
kultur. Ia memposisikan Islam sebagai suatu gagasan dan bukan sebagai
suatu koleksi ilmu pengetahuan. Islam demikian mempunyai pandangan yang
utuh tentang manusia, pergerakan intelektual dan sejarah, bukan sebagai
suatu gudang informasi teknis dan ilmiah. Dan, pada akhirnya, Islam
sebagai ideologi berada dalam pikiran kaum intelektual dan bukan sebagai
ilmu pengetahuan religius masa lampau yang berada dalam pikiran
ulama.)[5]
Syari’ati menjelaskan tentang proses berubahan agama
dari ideologi menjadi sebuah institusi sosial. Munculnya agama sebagai
ideologi, papar Syari’ati, dimulai ketika para Nabi muncul di
tengah-tengah suku-suku dan pemimpin gerakan-gerakan historis untuk
membangun dan menyadarkan masyarakat. Ketika para nabi itu
memproklamirkan semboyan-semboyah tertentu dalam membantu massa
kemanusiaan, maka para pengikut Nabi kemudian mengelilingi nabi dan
menyatakan untuk turut bersama-sama Nabi dengan sukarela. Dari sinilah,
menurut Syari’ati, munculnya agama sebagai ideologi. Namun kemudian,
agama itu kehilangan semangat aslinya dan mengambil bentuk agama sebagai
institusi sosial.[6]
Berangkat dari asumsi demikian, maka dapat
dicari sebuah jawaban dari pertanyaan mengapa Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad dengan cepat dapat diterima oleh masyarakat Arab. Islam
sebagai ideologi yang diusung oleh Muhammad membawa orde sosial baru
yang disandarkan kepada prinsip keadilan dan persamaan dalam stuktur
sosial masyarakat. Islam yang demikian sangat menarik masyarakat Arab
yang sudah lama muak dengan bentuk aristokrasi lama yang memerintah
dengan tirani, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan monopolisme.
Masyarakat kala itu, mulai menemukan semboyan-semboyan ideologi sebagai
obat penyembuhan dari penderitaan dan kesulitan akibat sistem tirani.
Islam sebagai ideologi mampu memberikan keyakinan baru yang berbasis
kepada kemauan bebas manusia untuk melepaskan diri dari jeratan sistem
sosial dan politik tiranik.
Sehingga dapat dimengerti jika
kemudian Syari’ati mencoba merekonstruksi “Islam Syi’ah” sebagai
ideologi revolusioner. Syari’ati menyatakan dengan jelas, bahwa Islam
bukanlah Islam kebudayaan yang melahirkan ulama dan mujtahîd, bukan pula
Islam dalam tradisi umum, tetapi Islam dalam kerangka Abu Zar.[7] Islam
lahir secara progresif dalam upaya merespon problem-problem masyarakat
dan memimpin masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita yang
berharga. Dalam hal ini, Islam dipahami sebagai sebuah pandangan dunia
yang komprehensif, dan diposisikan sebagai “agama pembebasan” yang
concern dengan isu-isu sosial-politik seperti penindasan, diskriminasi,
ketidakadilan dan sebagainya. Semangat Islam sebagai ideologi pembebasan
mendorong terjadinya revolusi masyarakat Islam untuk membangun
konstruksi peradaban baru yang progresif, partisipatif, tanpa penindasan
dan ketidakadilan.
Dalam konteks global Syari’ati melihat ada
problem besar masa depan dunia Islam, yaitu kolonialisme dan
neo-kolonialisme oleh Barat. Hal ini telah mengalienasi masyarakat
Muslim dari kebudayaan aslinya (turâts), karena mereka mau tidak mau
harus mengikuti alur kebudayaan dan pola pikir yang telah “dipaksakan”
oleh pihak kolonialis maupun neo-kolonialis. Senada dengan Syari’ati,
Hasan Hanafi juga melihat bahwa kolonialisme atau westernisasi mempunyai
pengaruh luas terhadap dunia Timur (Muslim), tidak hanya pada budaya
dan konsepsi tentang alam, tetapi juga mengancam kemerdekaan peradaban.
Bahkan, masih menurut Hanafi, juga merambah pada gaya kehidupan
sehari-hari: bahasa, menifestasi kehidupan umum dan seni bangunan. Tidak
hanya itu, keterbukaan ekonomi memaksa dunia Islam untuk membuka diri
terhadap kapitalisme internasional, demikian juga dengan keterbukaan
bahasa, maka konsekwensinya harus menerima kehadiran bahasa asing.[8]
Syari’ati
memandang saat itu kolonialisme dan westernisasi telah melanda negara
Dunia Ketiga tak terkeculai Iran. Akibat yang timbul dari hal itu adalah
munculnya bentuk-bentuk korporasi multi-nasional, rasisme, penindasan
kelas, ketidakadilan, dan mabuk kepayang terhadap Barat (Westoxication).
Ia menyatakan bahwa kolonialisme Barat dan kepincangan sosial sebagai
musuh terbesar masyarakat yang harus diberantas dalam jangka panjang.
Tetapi untuk jangka pendek, menurut Syari’ati, ada dua musuh yang harus
segera dimusnahkan: pertama, Marxisme vulgal – menjelma terutama dalam
Marxisme-Stalinisme – yang banyak digemari para intelektual dan kaum
muda Iran, dan kedua, Islam konservatif sebagaimana dipahami kaum mullah
yang menyembunyikan Islam revolusioner dalam jubah ketundukan kepada
para penguasa.[9]
Untuk membebaskan massa dari krisis yang
membawa mereka mencapai negara yang merdeka dan berkeadilan
sosial-ekonomi, Syari’ati yakin bukan melalui Liberalisme, Kapitalisme,
ataupun Sosialisme, namun yang bisa mengobati penyakit ini, kata
Syari’ati, hanyalah Islam. Baginya, Islam merupakan satu-satunya solusi
yang akan menyelamatkan negeri Muslim dari segala bentuk tekanan dan
penindasan. Hal ini sangat masuk akal jika Syari’ati menginginkan Islam
sebagai penggerak revolusi. Terlebih lagi dalam konteks Iran, Islam
(Syi’ah) justru dijadikan sebagai agama resmi negara. Dengan latar
belakang yang demikian kondusif, Syari’ati menempuh sejumlah strategi
sekaligus mengkonsolidasi masyarakat ke dalam satu paradigma: Islam
adalah solusi. Beberapa strategi tersebut mengandung muatan yang sama,
yakni menyakinkan masyarakat untuk memilih Islam sebagai jalan
perubahan.[10]
Pertama-tama Syari’ati berusaha melakukan
ideologisasi Islam dengan menunjukkan karakteristik revolusioner Islam.
Ia berupaya membuktikan bahwa Islam agama yang sangat progresif, agama
yang menentang penindasan. Syari’ati sangat antusias untuk membuktikan
perlunya suatu reformasi bagi pemahaman Islam yang benar, sehingga
dibutuhkan figur-figur yang mampu memimpin masyarakat kepada perubahan
paradigma dan mental masyarakat. Mereka itulah yang menurut Syari’ati
disebut para pemikir tercerahkan (rausanfikr). Kemudian Syari’ati
menunjukkan bahwa Islam merupakan akar budaya masyarakat Iran yang telah
lama mendarah daging. Dengan demikian masyarakat Iran harus kembali
kepada warisan budaya Islam jika menginginkan perubahan.
Untuk
mengkonstruksi Islam sebagai sebuah ideologi, mula-mula Syari’ati
melakukan redifinisi tentang pemahaman ideologi itu sendiri Syari’ati
menjelaskan bahwa ideologi terdiri dari kata “ideo” yang berarti
pemikiran, gagasan, konsep, keyakinan dan lain-lain, dan kata “logi”
yang berarti logika, ilmu atau pengetahuan. Sehingga ideologi dapat
diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan cita-cita.[11]Menurut
pengertian ini seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi
atau keyakinan tertentu. Dalam kaitan ini, ideologi terdiri dari
berbagai keyakinan dan cita-cita yang dipeluk oleh suatu kelompok
tertentu, suatu kelas sosial atau suatu bangsa.[12]
Ideologys
includes both a belief and the knowing of it. It is to have a special
attitude and consciousness which a person has in relation to himself,
his class position, social base, national situation, world and historic
destiny as well as the destiny of one’s own society which one is
dependent upon… Therefore, ideology is a belief system that interprets
the social, rational and class orientation of a human being as well as
one’s system of values, social order, form of living, ideal individual,
social situation and human life in all its various dimensions. It
answers the questions: What are you like? What do you do? What must you
do? What must be?
(Ideologi meliputi suatu kepercayaan dan
pengetahuan tentangnya. Ideologi diperlukan agar seseorang mempunyai
kesadaran dan sikap khusus dalam hubungannya dengan dirinya sendiri,
posisi kelasnya, dasar sosial, situasi nasional, dunia dan tujuan
sejarah seperti halnya tujuan masyarakat sebagai tempat bergantung… Oleh
karena itu, ideologi adalah suatu sistem kepercayaan yang
menginterpretasikan kondisi sosial, rasionalitas dan orientasi kelas
seseorang seperti halnya sistem nilai, orde sosial, format individu
ideal, hidup manusia dan situasi sosial dalam berbagai dimensinya .
Ideologi menjawab pertanyaan: Apa yang kamu sukai? Apa yang kamu
lakukan? Apa yang kamu harus lakukan? Harus menjadi apa?)[13]
Syari’ati
berusaha untuk membedakan antara ideologi, ilmu dan filsafat. Ilmu
menurutnya merupakan pengetahuan manusia tentang alam yang kongkret. Ia
merupakan penemuan manusia tentang beberapa hubungan, suatu prinsip,
kualitas dan karakteristik di dalam kehidupan manusia, alam dan
benda-benda lainnya. Demikian halnya dengan ilmu, dapat didefinisikan
sebagai pencarian ke arah pemahaman sesuatu yang bersifat umum, belum
diketahui dan tidak terjangkau ilmu. Ia mempersoalkan
kemungkinan-kemungkinan ideal, kebenaran dan substansi, fenomena dan
konsep-konsep yang ada dalam alam pikiran manusia.[14] Tentu saja
pemahaman Syari’ati tentang ideologi, ilmu dan filsafat berbeda dengan
pandangan para penganut aliran postmodernisme dewasa ini. Jürgen
Habermas, misalnya, ia menyatakan bahwa antara ideologi, ilmu, dan
filsafat (bahasa Habermas:Knowledge, pengetahuan) mempunyai landasan
yang sama dalam pengembanganya, yaitu kepentingan (keberpihakan).
Walaupun Habermas berbeda dengan Marx yang mengatakan bahwa kepentingan
itu adalah pasti kepentingan kelompok atas, Habermas lebih melihat
kepentingan itu muncul dari siapa saja (manusia kelompok manapun) yang
terlibat dalam pengembangkan sebuah ilmu, filsafat atau ideologi.[15]
Di
sisi yang berbeda, ideologi menuntut seorang cendekiawan untuk memihak.
Bagi seorang ideolog, ideologinya adalah suatu kepentingan yang mutlak.
Setiap ideologi memulai dengan tahap kritis, kritis terhadap status
quo, kritis terhadap masyarakat dengan berbagai aspek kultural, ekonomi,
politik dan moral yang cenderung melawan perubahan-perubahan yang
diinginkan. Berbeda dengan filsafat maupun ilmu yang sama sekali tidak
mempunyai komitmen seperti itu, ia hanya menggambarkan realitas seperti
apa adanya dengan tidak membedakan apakah ia menolak atau menerima
realitas tersebut.[16] Inilah perbedaan yang menyolok antara ilmu,
filsafat dan ideologi. Dengan kata lain, agar ideologi mampu
memposisikan dirinya menjadi landasan perjuangan, maka keberpihakannya
harus jelas. Pada wilayah politik, ia harus mengabdi sehingga mampu
memberikan doktrin-doktrin politik. Pada kekuasaan politik ia harus bisa
menyerang. Inilah sebenarnya, kata Syari’ati, makna sesungguhnya dari
ideologi, yang berarti bukan konsep, landasan berfikir, filsafat,
apalagi ilmu. Ideologi adalah kata lain dari keberpihakan politik, tegas
Syari’ati.
Lebih lanjut Syari’ati mengatakan, baik ilmu maupun
filsafat tidak pernah melahirkan revolusi dalam sejarah walaupun
keduanya selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu.
Adalah ideologi-ideologi, tegas Syari’ati, yang senantiasa memberikan
inspirasi, mengarahkan dan mengoganisir pemberontakan-pemberontakan
menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah
manusia di berbagai belahan dunia. Hal ini karena ideologi pada
hakekatnya mencakup keyakinan, tanggungjawab, keterlibatan dan
komitmen.[17] Ideologi, lanjut Syari’ati, menuntut agar kaum intelektual
bersikap setia (commited). Ideologilah yang mampu merubah masyarakat,
sementara ilmu dan filsafat tidak, arena sifat dan keharusan ideologi
meliputi keyakinan, tanggungjawab dan keterlibatan untuk komitmen.
Sejarah mengatakan, revolusi, pemberontakan hanya dapat digerakkan oleh
ideologi.[18]
Setelah mengkonstruksi gagasannya tentang ideologi,
Syari’ati menegaskan tentang urgensi perubahan yang hanya dapat
digerakkan oleh masyarakat yang mempunyai ideologi kokoh. Dalam kondisi
keterpurukan untuk konteks Iran, Syari’ati berfikir bahwa Islam harus
mampu menjadi penggerak kesadaran masyarakat. Islam perlu lebih dipahami
sebagai sebuah pandangan dunia komprehensif, sebuah rencana untuk
merealisasikan potensi manusia sepenuhnya, baik secara perseorangan
maupun kolektif, untuk tujuan makhluq secara keseluruhan.[19] Di sinilah
letaknya bahwa Islam berfungsi sebagai ideologi pembebasan:
Ia
(Islam) akan membantu dalam memutuskan bentuk perjuangan melawan
kekuasaan tiranik. Ia tidak akan pernah berbaiat (sepakat) dengan
kekejaman. Ia akan merancang kontinuitas sejarah berkesinambungan. Ia
akan menegaskan perjuangan tak kenal henti antara pewaris Adam dan
pewaris setan. Asy-syûra mengingatkan kembali akan ajaran ihwal
kenyataan bahwa Islam dewasa ini adalah Islam kriminal dalam jubah
“tradisi” dan bahwa Islam sejati adalah Islam yang tersembunyi dalam
jubah merah kesyahidan.[20]
Syari’ati berupaya menegaskan
perbedaan Islam dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan
oleh Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti
dikemukakan Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek
moyang dan perasaan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus,
agama-agama, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan
praktek-praktek yang secara sosial telah mantab selama generasi demi
generasi. Ia tidak harus merupakan menifestasi dari semangat ideal
kemanusiaan yang sejati”.[21] Jika Islam dirubah bentuknya dari “madzab
ideologi” menjadi sekedar “pengetahuan kultural” dan sekumpulan
pengetahuan agama sebagaimana yang dikonsepsikan Durkheim, ia akan
kehilangan daya dan kekuatannya untuk melakukan gerakan, komitmen, dan
tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak memberi
kontribusi apa pun kepada masyarakat.[22]
Untuk mencapai tujuan
menggerakkan masyarakat melalui ideologisasi Islam, Syari’ati menempuh
beberapa langkah strategis. Syari’ati berupaya untuk melakukan
redifinisi Islam dengan menyajikan tahapan-tahapan ideologi secara
detail, berkenaan dengan cara memahami Tuhan, mengevaluasi segala
sesuatu yang berhubungan dengan ide-ide yang membentuk lingkungan sosial
dan mental kognitif masyarakat, serta metode atau usulan-usulan praktis
untuk mengubah status quoyang tidak memuaskan kehendak masyarakat.[23]
Pada
tahap pertama, Syari’ati meletakkan pandangan dunia tauhîd sebagai
pandangan dasar. Pendangan ini menyatakan secara langsung bahwa
kehidupan merupakan bentuk tunggal, organisme yang hidup dan sadar,
memiliki kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal demikian berbeda
dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam kategori yang
berpasangan: dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib; substansi dan arti;
rohani dan jasmani.[24] Karena itu diskriminasi manusia atas dasar ras,
kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan lainnya tidak bisa dibiarkan,
karena ia dianggap berlawanan dengan nilai-nilai Ketuhanan.
Pada
tahap kedua, adalah berkenaan dengan bagaimana memahami dan mengevaluasi
pemikiran dan segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial dan
mental. Bagi Syari’ati, Islam adalah pandangan dunia yang bisa dipahami
dengan mempelajari al-Qur’an sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari
sejarah Islam sebagai ringkasan kemajuan yang pernah dialami dari
permulaan misi Nabi sampai pada dunia kontemporer.[25]
Dengan
berpijak pada al-Qur’an, Syari’ati melihat keseluruhan sejarah sebagai
sebuah konflik kekuatan-kekuatan, sementara itu manusia sendiri menjadi
medan perang antara asal jasmaniahnya yang rendah dan semangat
Ketuhanannya. Dialektika sejarah seperti ini sangat mudah diidentifikasi
meminjam konsep dialektika sejarah Marxis, meskipun tidak secara
keseluruhan.[26]Meskipun demikian, Syari’ati mengklaim bahwa analisisnya
mengenai dialektika Qabil dan Habil sebagai sebuah simbol pertentangan
yang terus-menerus adalah pemikiran orisinil dalam konteks pemahaman
Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat dalam al-Qur’an.
Pada
tahap berikutnya, diperlukan suatu ikhtiar bagaimana mencari dan
menerapkan jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo. Caranya
ialah melengkapi masyarakat dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan,
langkah-langkah praktis berdasarkan kondisi masyarakat, serta upaya
menciptakan perubahan dan kemajuan dalam aksi-aksi revolusioner.
Ideologi harus mengejawantah sebagai suatu amanat yang sedang dihidupkan
kembali untuk membangkitkan kaum yang menderita, bodoh dan lamban, agar
bangun dan menegaskan hak-hak serta identitasnya.
Keseluruhan
langkah yang dikonstruksi Syari’ati pada intinya akan mengerucut pada
satu tujuan, yaitu pembaharuan Islam (protestanism).
To
emancipate and guide the people, to give birth to a new love, faith, and
dynamism, and to shed light on people’s hearts and minds and make them
aware of various elements of ignorance, superstition, cruelty and
degeneration in contemporary Islamic societies, an enlightened person
should start with “religion.” By that I mean our peculiar religious
culture and not the one predominant today. He should begin by an Islamic
Protestantism similar to that of Christianity in the Middle Ages,
destroying all the degenerating factors which, in the name of Islam,
have stymied and stupefied the process of thinking and the fate of the
society, and giving birth to new thoughts and new movements. Unlike
Christian Protestantism, which was empty-handed and had to justify its
liberationist presentation of Jesus, Islamic Protestantism has various
sources and elements to draw from.
(Untuk membebaskan dan
membimbing rakyat, untuk menciptakan cinta dan keyakinan baru,
kedinamisan, dan memberi kesadaran baru ke dalam hati dan pikiran
rakyat, serta mengingatkan mereka akan berbagai bahaya yang muncul
akibat unsur kebodohan, ketahayulan, kejahatan dan kebobrokan di dalam
masyarakat-masyarakat Islam kini, orang tercerahkan harus mulai dengan
“agama” – maksud saya kebudayaan agama dan bukan salah satu budaya yang
dominan sekarang ini. Ini harus dimulai dengan semacam Protestantisme
Islam (pembaharuan Islam) yang mirip dengan Protestantisme Kristen
(pembaharuan Kristen) pada Abad Pertengahan, yang menghancurkan seluruh
faktor perusak yang, dengan mengatasnamakan Islam, telah menghalangi dan
membius proses pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan baru. Tidak
seperti Protestantisme Kristen, yang tak punya apa-apa dan harus
membenarkan kehadiran Yesus sebagai pembebas, maka Protestanisme Islam
mempunyai banyak sumber daya dan unsur yang dapat digunakannya.[27]
Gerakan
Protestanisme Islam, menurut Syari’ati akan mengeluarkan energi yang
sangat besar dan memungkinkan seorang Muslim yang tercerahkan untuk:
pertama, penyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat Islam dan
mengubah penyebab kebobrokan dan kemandekan menjadi kekuatan dan
gerakan. Kedua, mengubah konflik antar kelas dan sosial yang ada menjadi
kesadaran akan tanggung jawab sosial. Ketiga, menjembatani kesenjangan
yang semakin lebar antara “pulau yang dihuni oleh orang yang
tercerahkan” dengan “pantai rakyat kebanyakan” dengan menjalin hubungan
kekeluargaan dan pemahaman di antara mereka, dan dengan demikian
menempatkan agama – yang datang untuk membangkitkan dan melahirkan
gerakan – untuk kepentingan rakyat.Keempat, mencegah agar senjata agama
tidak jatuh kepada mereka yang tidak patut memilikinya dan yang
tujuannya adalah memanfaatkan agama untuk tujuan-tujuan pribadi, yang
dengan cara itu memperoleh energi yang diperlukan untuk menggerakkan
rakyat.
Kelima, mengusahakan suatu kebangkitan kembali agama yang
– dengan kembali kepada agama yang hidup, dinamis, kuat dan adil –
melumpuhkan agen-agen reaksioner dalam masyarakat, sekaligus
menyelamatkan rakyat dari unsur-unsur yang digunakan untuk membius
mereka. Keenam, menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan yang
merupakan ciri agama biasa, dan menggantinya dengan semangat pemikiran
bebas (ijtihâd) yang kritis, revolusioner, dan agresif. Semua ini dapat
dicapai melalui gerakan pembaharuan agama yang akan menyaring dan
menyuling cadangan energi yang sangat besar di dalam masyarakat, dan
akan mencerahkan zaman itu serta membangunkan generasi masa kini. Karena
alasan-alasan itulah, Syari’ati berharap, agar orang yang tercerahkan
dapat berhasil mencapai kesadaran diri yang progresif.[28]
Catatan
[1] Azra, “Akar-Akar Ideologis…”, hlm. 70
[2]
Nikki R Keddie, Root of Revolution: An Interpretative History of Modern
Iran (New Haven: Yale University Press, 1981), hlm. 217.
[3] Azra, “Akar-Akar Ideologis…“, hlm. 70
[4] Lihat Ali Syari’ati, “Islamology”, dalam http://www.shariati.com, diakses tanggal 11 Maret 2006
[5] Ibid.
[6] Ali Syari’ati, Islam Madzab Pemikiran dan Aksi (Bandung: Mizan, 1982), hlm. 154-155
[7]
Lihat Ali Syari’ati, “And Once Again Abu-Dhar”,
dalamhttp://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/once_again_abu_dhar7.php,
diakses tanggal 11 Maret 2006
[8] Lihat Hasan Hanafi, Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb (Kairo: Dâr al-Fanniyah, 1991), hlm. 17
[9]
Lihat Azra, “Akar-Akar Ideologis…“, hlm. 71; bandingkan dengan Bryan S.
Turner,Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat: Bongkar Wacana Atas
Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme dan Globalisme
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 197. Hasan Hanafi mengemukakan
hal yang senada dengan Syari’ati bahwa sesungguhnya tantangan terbesar
bagi kelompok-kelompok umat sekarang adalah bagaimana mempertahankan
identitas tanpa harus terjatuh dalam bahaya isolasi diri, dan bahaya
menolak andil orang lain; serta bagaimana menghadapi bahaya pembebekan
buta (taqlîd). Lihat Hanafi, Muqaddimah…, hlm. 21
[10] Lihat Supriyadi, Sosialisme Islam…, hlm. 150
[11]
Bandingkan apa yang telah didefinisikan oleh Syari’ati tentang ideologi
dengan definisi yang diberikan oleh John B. Thompson yang menyatakan
bahwa ideologi adalah “sistem berfikir”, “sistem kepercayaan”,
“praktik-praktik simbolik” yang berhubungan dengan tindakan sosial
politik. Lihat John B. Thompson, Analisis Ideologi: Kritik Wacana
Ideologi-Ideologi Dunia, terj. Haqqul Yakin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003),
hlm. 17
[12] Lihat Ali Syari’ati, “Man and Islam”, dalam http://www.shariati.com, diakses tanggal 11 Maret 2006
[13] Syari’ati, “Islamology”.
[14] Lihat Syari’ati, “Man and Islam”.
[15]
Menurut analisa Habermas, ada tiga macam ilmu yang didorong seakan-akan
dari dalam oleh tiga kepentingan dasar manusia: ilmu-ilmu
empiris-analitis didorong oleh kepentingan teknis, kepentingan untuk
memanfaatkan apa yang diketahui, ilmu-ilmu historis-hermeneutis
diarahkan oleh kepentingan “praksis” (dalam arti Aristoteles),
kepentingan untuk memahami makna. Ilmu-ilmu kritis (filsafat,
psikoanalisa) didorong oleh kepentingan mansipatoris, kepentingan untuk
membebaskan. Lihat Franz Magnis-Suseno, “75 Tahun Jürgen Hambermas”,
dalam Basis, No. 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, hlm. 6
[16] Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amien Rais (Jakarta: Srigunting, 2001), cet. II, hlm. 161
[17] Ibid., hlm. 163
[18] Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 81
[19] Prasetyo, Sosiologi Islam…, hlm. 153
[20] Ali Syari’ati, Islam Madzab Pemikiran dan Aksi, terj. Nasrullah dan Afif Muhammad (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 47
[21] Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual…, hlm. 81
[22] Syari’ati, “Islamology”.
[23] Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 160
[24] Syari’ati, On Sociology of Islam, hlm. 82
[25] Ibid., hlm. 83
[26]
Menurut Marx, yang menentukan perubahan dan perkembangan masyarakat
adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial atau terjadinya
kontradiksi dalam masyarakat, dan kelas-kelas sosial merupakan aktor
sejarah utama. Jadi yang menentukan jalannya sejarah bukan
individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial yang
masing-masing memperjuangkan kepentingannya. Lihat Franz Magnis-Suseno,
Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 125
[27] Ali Syari’ati, “Where shall we begin?”.
[28] Ibid.
Nota: Makalah Anjar Nugroho ini diperoleh di: http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/16/pemikiran-syariati-2/
Minggu, 02 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar