Nama lengkapnya adalah Jamaluddin 
al-Afgani as-Sayid Muhammad bin Shafdar al-Husain. Namun ia lebih 
dikenal dengan Jamaluddin al-Afgani. Ia merupakan seorang pemikir Islam,
 aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Kebencian al-Afgani terhadap 
kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan 
nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya maupun
 tulisan-tulisannya. Karenanya di tengah kemunduran kaum muslimin 
gejolak kolonialisme bangsa Eropa di negeri-negeri Islam, al-Afgani 
menjadi seorang tokoh yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan 
aksi-aksi sosial pada abad ke-19 dan ke-20.
Dilahirkan di Desa Asadabad, 
Distrik Konar, Afganistan pada tahun 1838, al-Afgani masih memiliki 
ikatan darah dengan cucu Rasulullah SAW, Husain bin Ali bin Abi Thalib. 
Ayahnya Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan 
Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadis yang masyhur yang telah 
lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin
 Abi Thalib. Keluarganya merupakan penganut mazhab Hanafi. Masa kecil 
dan remajanya, ia habiskan di Afganistan. Namun ketika beranjak dewasa, 
ia berpindah dari satu negara ke negara lainnya, seperti India, Mesir, 
dan Prancis.
Pendidikan dasar ia peroleh di 
tanah kelahirannya. Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan 
kecerdasan yang luar biasa. Lalu ia melanjutkan pendidikannya di Kabul 
dan Iran. Ia tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. 
Ia tekun mempela¬jari bahasa Arab, sejarah, matematika, fil¬safat, fiqh 
dan ilmu keislaman lainnya.Ketika berada di Kabul, sampai umur 18 tahun,
 ia mempelajari beberapa cabang ilmu keislaman disamping filsafat dan 
ilmu eksakta.
Kemudian ketika berada di India 
dan tinggal di sana lebih dari satu tahun, ia menerima pendidikan yang 
lebih modern. Di India, al-Afgani memulai misinya membangkitkan Islam. 
Kala itu India berada di bawah kekuasaan penjajahan Inggris. Pada saat 
perlawanan terjadi di seluruh India, al-Afgani turut ambil bagian dengan
 bergabung dalam perang kemerdekaan India di tahun 1857. Meski demikian,
 ia masih sempat pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sepulang
 dari haji, al-Afgani memutuskan untuk pergi ke Kabul. Di kota ini ia 
disambut oleh penguasa Afganistan, Dost Muhammad Khan, yang kemudian 
menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Ketika Sher Ali 
Khan menggantikan Dost Muhammad Khan pada tahun 1864, al-Afgani diangkat
 menjadi penasihatnya. Dan beberapa tahun kemudian diangkat menjadi 
perdana menteri oleh Muhammad A’zam Khan.
Karena campur tangan Inggris 
dalam soal poilitk di Afganistan dan kekalahannya dalam pergolakan 
melawan golongan yang disokong Inggris, ia meninggalkan Afganistan tahun
 1869 menuju India. Karena koloni Inggris yang berada di India selalu 
mengawasi kegiatannya, ia pun meninggalkan India dan pergi ke Mesir pada
 tahun 1871, dan menetap di Kairo.
Pada mulanya ia menjauhi 
persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatiannya pada 
bidang ilmu pengetahuan dan sastra Arab.Rumahnya dijadikan tempat 
pertemuan murid-murid dan para pengikutnya. Di sinilah ia memberikan 
kuliah dan mengadakan diskusi. Salah seorang murid al-Afgani adalah 
Muhammad Abduh.
Ia kembali ke lapangan politik 
ketika pada tahun 1876 melihat adanya campur tangan Inggris dalam soal 
politik di Mesir. Kondisi tersebut mendorong al-Afgani untuk terjun ke 
dalam kegiatan politik di Mesir. Ia bergabung dengan perkumpulan yang 
terdiri atas orang-orang politik di Mesir. Lalu pada tahun 1879, 
al-Afgani membentuk partai politik dengan nama Hizb al-Watani (Partai 
Kebangsaan). Dengan partai ini ia berusaha menanamkan kesadaran 
nasionalisme dalam diri orang-orang Mesir. Partai yang ia dirikan ini 
bertujuan untuk memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, 
dan memasukan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi militer.
Kegiatan yang dilakkukan 
al-Afgani selama berada di Mesir memberi pengaruh yang besar bagi umat 
Islam di sana. Ia yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga 
negara itu dapat mencapai kemajuan dan menjadi negara modern. Akan 
tetapi, karena keterlibatannya dalam bidang politik itu, pada tahun 1882
 ia diusir dari Mesir oleh penguasa saat itu. Dia kemudian pergi ke 
Paris.
Pada tahun 1883 ketika berada di
 Paris, al-Afgani mendirikan suatu perkumpulan yang diberi nama 
al-’Urwah al-Wusqa (Ikatan yang Kuat), yang anggotanya terdiri atas 
orang-orang Islam dari India, Mesir, Suriah, Afrika Utara, dan 
lain-lain. Tujuan didirikannya perkumpulan tersebut, antara lain, 
memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat 
Islam kepada kemajuan.
Jurnal perlawanan
Sebagai sarana untuk menyalurkan
 ide-ide dan kegiatannya, al-Afgani bersama Muhammad Abduh menerbitkan 
jurnal berkala, yang juga bernama al-’Urwah al-Wusqa. Publikasi ini 
bukan saja menggoncang dunia Islam, pun telah menimbulkan kegelisahan 
dunia Barat. Majalah ini hanya berumur delapan bulan karena dunia Barat 
melarang peredarannya di negeri-negeri Islam. Majalah ini dinilai dapat 
menimbulkan semangat dan persatuan orang-orang Islam. Di mana-mana, 
terutama untuk pasaran dunia Timur, majalah ini dibinasakan penguasa 
Inggris. Di Mesir dan India, majalah ini dilarang untuk diedarkan. Akan 
tetapi, majalah ini terus saja beredar meski secara ilegal.
Jurnal berkala ini segera 
menjadi barometer perlawanan imperialis Dunia Islam yang merekam 
komentar, opini, dan analisis bukan saja dari tokoh-tokoh Islam dunia, 
tetapi juga ilmuwan-ilmuwan Barat yang penasaran dan kagum dengan 
kecemerlangan al-Afgani. Selama mengurus jurnal ini, al-Afgani harus 
bolak-balik Paris-London untuk menjembatani diskusi dan pengiriman 
tulisan para ilmuwan Barat, terutama yang bermarkas di International 
Lord Salisbury, London.
Atas undangan penguasa Persia 
saat itu, Syah Nasiruddin, pada tahun 1889 ia mengunjungi Persia. Di 
sana ia diminta untuk menolong mencari penyelesaian persengketaan 
Rusia-Persia yang timbul karena politik pro-Inggris. Pada tahun 1892, ia
 ke Istanbul atas undangan Sultan Abdul Hamid yang ingin memanfaatkan 
pengaruh al-Afgani di berbagai negara Islam untuk menentang Eropa yang 
pada waktu itu mendesak kedudukan Kerajaan Usmani (Ottoman) di Timur 
Tengah.
Akan tetapi kedua tokoh tersebut
 tidak mencapai kerja sama. Sultan Abdul Hamid tetap mempertahankan 
kekuasaan otokrasi lama, sedangkan al-Afgani mempunyai pemikiran 
demokrasi tentang pemerintahan. Akhirnya, Sultan membatasi kegiatan 
al-Afgani dan tidak mengizinkannya keluar dari Istanbul sampai wafatnya 
pada tanggak 9 Maret 1897. Ia dikubur di sana. Jasadnya kemudian 
dipindahkan ke Afganistan pada tahun 1944. Ustad Abu Rayyah dalam 
bukunya “Al-Afgani: Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”, 
menyatakan, bahwa al-Afgani meninggal akibat diracun dan ada pendapat 
kedua yang menyatakan bahwa ada rencana Sultan untuk membinasakannya.
Di samping majalah al-‘Urwah 
al-Wusqa yang diterbitkannya, al-Afgani juga menulis banyak buku dan 
artikel. Di antaranya ialah Bab ma Ya’ulu Ilaihi Amr al-Muslimin 
(Pembahasan tentang Sesuatu Yang Melemahkan Orang-Orang Islam), Makidah 
asy-Syarqiyah (Tipu Muslihat Orientalis), Risalah fi ar-Radd ‘Ala 
al-Masihiyyin (Risalah untuk Menjawab Golongan Kristen; 1895), Diya’ 
al-Khafiqain (Hilangnya Timur dan Barat; 1892), Haqiqah al-Insan wa 
Haqiqah al-Watan (Hakikat Manusia dan Hakikat Tanah Air; 1878), dan 
ar-Radd ‘Ala al-Dahriyin.
Merintis Reformasi Islam
Apa yang dilihat al-Afgani di 
dunia Barat dan apa yang dilihatnya di dunia Islam memberi kesan 
kepadanya bahwa umat Islam pada masanya sedang berada dalam kemunduran, 
sementara dunia Barat dalam kemajuan. Hal ini mendorong al-Afgani untuk 
menimbulkan pemikiran-pemikiran baru agar umat Islam mencapai kemajuan.
Ia
 telah menimbulkan pemikiran pembaruan yang mempunyai pengaruh besar 
dalam dunia Islam. Pemikiran pembaruannya didasarkan pada keyakinan 
bahwa agama Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Tidak 
ada pertentangan antara ajaran Islam dan kondisi yang disebabkan 
perubahan zaman.
Dalam pandangan al-Afgani, jika 
ada pertentangan antara ajaran Islam dan kondisi zaman saat ini, maka 
harus dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interpretasi baru terhadap
 ajaran-ajaran Islam yang tercantum dalam Alquran dan hadis. Untuk 
mencapai hal ini dilakukan ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya masih 
tetap terbuka.
Ia melihat bahwa 
kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam tidak sesuai lagi dengan 
perkembangan zaman dan perubahan kondisi. Kemunduran mereka disebabkan 
oleh beberapa faktor. Umat Islam, menurutnya, telah dipengaruhi oleh 
sifat statis, berpegang pada taklid, bersikap fatalis, telah 
meninggalkan akhlak yang tinggi, dan telah melupakan ilmu pengetahuan. 
Ini berarti bahwa umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang 
sebenarnya menghendaki agar umat Islam bersifat dinamis, tidak bersifat 
fatalis, berpegang teguh pada akhlak yang tinggi, dan mencintai ilmu 
pengetahuan.
Sifat statis, menurut al-Afgani,
 telah membawa umat Islam menjadi tidak berkembang, dan hanya mengikuti 
apa yang telah menjadi hasil ijtihad ulama sebelum mereka. Karenanya 
umat Islam dinilai al-Afgani hanya bersikap menyerah dan pasrah kepada 
nasib.
Faktor lainnya adalah adanya 
paham Jabariah dan salah paham terhadap qada (ketentuan Tuhan yang 
tercantum di lauh mahfuz/belum terjadi). Paham itu menjadikan umat Islam
 tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja giat. Menurut 
pemikiran al-Afgani, qada dan qadar mengandung pengertian bahwa segala 
sesuatu terjadi menurut sebab-musabab (kausalitas).
Lemahnya pendidikan dan 
kurangnya pengetahuan umat Islam tentang dasar-dasar ajaran agama 
mereka, lemahnya rasa persaudaraan, dan perpecahan di kalangan umat 
Islam yang dibarengi oleh pemerintahan yang absolut, mempercayakan 
kepemimpinan kepada yang tidak dapat dipercaya, dan kurangnya pertahanan
 militer merupakan faktor-faktor yang ikut membawa kemunduran umat 
Islam. Faktor-faktor ini semua menjadikan umat Islam lemah, statis, 
fatalis, dan mundur.
Ia juga ingin melihat umat Islam
 kuat, dinamis, dan maju. Jalan keluar yang ditunjukkannya untuk 
mengatasi keadaan ini adalah melenyapkan pengertian yang salah yang 
dianut umat Islam dan kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya. 
Menurut dia, Islam mencakup segala aspek kehidupan, baik ibadah, hukum, 
maupun sosial. Corak pemerintahan autokrasi harus diubah dengan corak 
pemerintahan demokrasi dan persatuan umat Islam harus diwujudkan 
kembali. Kekuatan dan kelanjutan hidup umat Islam bergantung kepada 
keberhasilan membina persatuan dan kerja sama.
Pemikiran lain yang dimunculkan 
oleh al-Afgani adalah idenya tentang adanya persamaan antara pria dan 
wanita dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama dalam pandangannya. 
Keduanya mempunyai akal untuk berpikir. Ia mmelihat tidak ada halangan 
bagi wanita untuk bekerja di luar jika situasi menuntut itu. Dengan 
jalan demikian, al-Afgani menginginkan agar wanita juga meraih kemajuan 
dan bekerja sama dengan pria untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan 
dinamis.
0 komentar:
Posting Komentar