سد
الذرائع
A.
Pengertian
Dzari’ah
Secara bahasa, Dzarai’ merupakan jama’ dari Dzari’ah yang artinya
‘jalan menuju sesuatu’. Sedangkan menurut istilah dzari’ah dikhususkan
dengan’sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung
kemudharatan. Akan pendapat ini ditentang oeh para ulama’ ushul lainnya,
seperti Ibnu Qayyim Aj0Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya
menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan
demikian lebih tepat kalu dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yakni saad
Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
B.
Sadd
adz-Dari’ah
Imam Syatibi mendefinisika dzari’ah dengan : ‘Melaksanakan suatu
pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan untuk menuju kepada suatu kerusakan
(kemafsadatan)’.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sad adz-dzari’ah
adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung
kemashlahatan, tetapi berakhir dengan sutau kerusakan.
Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun
sebelum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya, sehingga
ia terhindar dari kewajiban zakat. Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain,
tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung
kemashlahatan. Akan tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk
menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan
pada pertimbangan, bahwa hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah
sunnah.
Menurut Imam Syatibi, ada tiga kriteria yang menjadikan suatu
perbuatan itu dialarang, yakni :
1)
Perbuatan
yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
2)
Kemafsadatan
lebih kuat dari pada kemaslahatan.
3)
Perbuatan
yang dibolehkan syara’ mengadung lebih banyak unsur kemafsadatan.
C.
Macam-Macam
Dzari’ah
Para ulama ushul fiqih membagi dzari’ah berdasarkan dua segi, yakni
dilihat dari segi kualitas kemafsadatan dan segi jenis kemafsadatan.
1.
Dzari’ah
dari Segi Kualitas kemafsadatan
a.
Perbuatan
yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti (qath’i). Misalnya,
menngali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan
pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena
melakukan perbuatan tersebut dengan disengaja. Perbuatan seperti ini dilarang,
karena perbuatan itu dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain.
b.
Perbuatan
yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan, misalnya menggali
sumur di tempat yang biasanya tidak member mudharat atau menjual makanan yang
biasanya tidak mengandung kemafsadatan bagi orang yang memkannya. Perbuatan
seperti ini tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah (boleh), karena yang dilarang
itu adalah apabila diduga keras bahwa perbuatan itu membawa kepada emafsadatan.
Sedangkan dalam kasus ini jarang sekali.
c.
Perbuatan
yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Seperti menjual
senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan untuk perang atau paling
tidak untuk membunuh. Selain itu, menjual anggur kepada produsen minuman keras,
sangat mungkin anggur tersebut akan diproses menjadi minuman keras. Perbuatan
seperti ini dilarang, karena dugaan keras (zhann al-ghalib) bahwa perbuatan itu
membawa kepada kemafsadatan, sehingga dapat dijadikan patokan dalam menetapkan
larangan terhadap perbuatan itu.
d.
Perbuatan
yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi
memungkinkan terjadinya kemafsadatan, seperti baiy al-ajal (jual beli
dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan). Contohnya
: jika Ahmad membeli kendaraan dari kendaraan dari Ali secara kredit seharga 20
juta. Kemudian Ahmad menjual kembali endaraan tersebut kepada Ali seharga 10
juta secara tunai, sehingga seakan-akan Ahmad menjual barang fiktif, sementara
Ali tinggal menunggu saja pembayaran dari kredit mobil tersebut, meskipun
mobilnya telah jadi miliknya kembali. Jual beli ini cenderung pada riba.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah
baiy al-ajal dilarang atau diperbolehkan. Meurut Imam Syafi’I dan Abu Hanifah,
jual beli tersebut dibolehkan karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah
terpenuhi. Selain itu, dugaan (zhann al-mujarrad) tidak bisa dijadikan dasar
keharaman jual beli tersebut. Oleh karena itu, bentuk dzari’ah tersebut
dibolehkan.
Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang
ditimbulkan oleh praktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Dengan
demikian dzari’ah seperti itu tidak diperbolehkan. Adapun alasan yang
dikemukakan keduanya, yakni :
1)
Dalam
baiy al-ajal perlu diperhatikan tujuannya atau akibatnya, yang membawa kepada
perbuatan yang mengandung unsur riba, meskipun sifatnya sebatas prduga yang
berat (galabah azh-zhann), karena syara’ sendiri banyak sekali menentukan hukum
berdasarkan praduga yang berat, disamping perlunya sikap hati-hati (ihtiyat).
Dengan demikian, suatu perbuatan yang
diduga akan membawa kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang suatu
perbuatan, berdasarkan kaidah :
دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح.
“menolak segala bentuk kemafsadatan lebih
didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”.
2)
Dalam
kasus baiy al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, antara sahnya jual
beli karena ada syarat dan rukun, dengan menjaga seseorang dari kemadaratan.
Dalam hal ini Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih menguatkan pemeliharaan
keselamatan dan kemadaratan, karena bentuk jual beli tersebut jelas-jelas
membawa kepada kemafsadatan.
3)
Dalam
nash banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan,
tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga dilarang, seperti hadits yang
diriwayatkan Bukhari-Muslim bahwa seorang laki-laki tidak boleh bergaul dengan
wanita yang bukan mukhrim, dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari
tanpa muhrim atau mahramnya.
Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya
berdasarkan praduga semata-ata, tetapi Rasulullah SAW. melarangnya, karena
perbuatan itu banyak membawa kepada kemafsadatan. Sehingga menurut mereka
pengharaman baiy al-ajal memiliki dasar yang kuat dalam syari’at islam.
2.
Dzari’ah
dari Segi Jenis Kemafsadatan yang Ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini antara
lain :
a.
Perbuatan
yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang
mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mafsadat.
b.
Suatu
perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan
sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun
tidak, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan
tujuan agar wanita itu bisa kembali kepada suami pertamanya (nikah at-tahlil).
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah kedua bagian di atas terbagi dalam
:
1)
Kemashlahatan
suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatannya.
2)
Kemafsadatan
suatu perbuatan lebih kuat dari pada kemanfaatannya.
Kedua pembagian inipun, menurutnya dibagi lagi menjadi empat bentuk
:
a)
Sengaja
melakukan perbuatan yang mafsadat, seperti minum arak, perbuatan ini dilarang
syara’.
b)
Perbuatan
yang pada dasarnya di bolehkan atau dianjurkan, tetapi ditujukan untuk
melakukan suatu kemafsadatan, seperti nikah tahlil diatas. Pekerjaan seperti
inipun dilarang oleh syara’.
c)
Perbuatan
yang hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk melakukan kemafsadatan,
tetapi berakibat timbulnya suatu kemafsadatan, seperti mencaci maki persembahan
orang musyrik yang mengakibatkan orang musyrik juga akan mencaci maki Allah
SWT.
d)
Suatu
pekerjaaan yang pada dasarnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk
kemafsadatan, seperti melihat wajah wanita yang dipinang. Menurut Ibnu Qayyim
kemashlahatannya lebih besar, maka hukumnya dibolehkan sesuai kebutuhan.
D.
Kehujjahan
Sadd Adz-Dzari’ah
Di
kalangan ulama ushul terjadi perbedaaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan
sad adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah dapat
menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.
Alasan
mereka antara lain :
1.
Firman
Allah SWT dalam QS. Al-an’am : 108
ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبون الله عدوا بغير علم . . . (
الأنعام : ١٠۸ )
“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan”.
2.
Hadits
Nabi SAW, antara lain :
إن من أكبر الكبائر أن يلعن الرجل والديه. قيل : يا رسول الله, كيف
يلعن الرجل والديه؟
قال : يسب ابا الرجل فيسب اباه, ويسب أمه فيسب أمه. (رواه البخارى
ومسلم وابو داود)
“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat
kedua orang tuanya, Lalu Rasulullah SAW. ditanya “Wahai Rasulullah, bagaimana
mungkin seseorang akan melaknat Ibu dan Bapaknya. Rasulullah SAW menjawab,
“Seseorang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan di caci maki
orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lainpun akan
mencaci ibunya.”
Ulama’ Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sad
ad-dzari’ah dalam masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah
lain. Imam Syafi’I menerimanya apabila dalam keadaan udzur, misalnya seorang
musafir atau yang sakit dibolehkan meinggalkan shalat jum’at dan dibolehkan
menggantinya dengan shalat dhuhur. Namun, shalat dhuhurnya harus di lakukan
secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat jum’at.
Menurut Husain Hamid, salah seorang guru besar Ushul Fiqih Fakultas Hukum Universitas Kairo,
Ulama Hanafiyah dan syafi’iyah menerima sad al-dzari’ah apabila kemafsadatan
yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-sekurangnya
kemungkinan besar (galabah adz-zhann) akan terjadi.
Dalam memandang dzari’ah,
ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul :
a.
Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya,
seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh
suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bisa kembali pada suaminya yang
pertamarang karena. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan
syara’.
b.
Dari
segi dampaknya ( akibat ), mislnya seorang muslim mencaci maki sesembahan
orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena
itu, perbuatan seperti itu dilarang.
Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak
dengan Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sad
al-dzari’ah adalah dalam niat dan akad. Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan
Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah akad yang disepakati oleh
orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad
transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah
SWT. Menurut mereka, selama tidak ad indikasi-indikasi yang menunjukkan niat
dari perilaku maka berlaku kaidah :
المعتبر في اوامر الله المعني والمعتبر في امورالعبادالاسم و اللفظ
Artinya :
“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan
dengan hak-hak hamba adalah lafalnya.”
Akan
tetapi, jika tujuan orang berakad dapat ditangkap dari beberapa indicator yang
ada, maka berlaku kaidah :
العبرت في العقود بالمقا صد والماني لا بالالفاط والمباني
Artinya :
“Yang menjadi patokan
dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafazh dan bentuk
formal (ucapan).” (Al-Qarafi, ll : 32)
Sedangkan
menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan
tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila
tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang
menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap
dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling
mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja. Apabila ada indicator yang
menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’, maka
akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka
perbuatanyya dianggap fasid (rusak),
namun tidak ada efek hukumnya. (Al-Jauziyyah, lll : 114, 119, dan IV : 400)
Golongan
Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sad adz-dzari’ah sebagai salah
satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka
yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur
tangan logika dalam masalah hukum. (Ibnu Hazm, IV : 745- 757)
5. Fath Adz- Dzari’iah
Ibnu
Qayyim Aj- Jauziyyah dan Imam Al-Qarafi, mengatakan bahwa dzari’ah itu
adakalanya dilarang yang disebut sad adz-dzari’ah, dan adakalanya
dianjurkan bahkan diwajibkan ya ng disebut fath adz-dzari’ah. Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk
melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib.
Pendapat
tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan
seperti di atas tidak termasuk kepada dzari’ah, tetapi dikategorikan sebagai
muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu
perbuatan yang hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam melaksanakan kewajiban
tersebut hukumnya wajib. Sesuai dengan kaidah :
ما لا يتم الوجب الا به فهو واجب
Artinya :
“Apabila suatu
perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun
wajib”.
Begitu
pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu pun
haram, sesuai dengan kaidah:
ما دل علا حرام فهو حرام
Artinya :
“Segala jalan
yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun haram.”
Misalnya,
seorang laki-laki haram berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim atau melihat
auratnya, karena hal itu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menurut
jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim itu
disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).
Para
ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka
tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
dapat menerima sebagai fath ad-dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah,
Hanafiyah, dan sebagian Malikiyah menyebutnya sebagai muqaddimah, tidak
termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun, mereka sepakat bahwa hal itu
bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. (Aj-Juhaili: 874)
4 komentar:
Terimakasih postingannya sangat bermanfaat
Hanya butuh 1 ID bisa main 8
Jenis Permainan dan menjadi Jutawan.
Ayo Gabung bersama kami Bosku.
arena-domino.net
Buktikan Sendiri Bossku!
daftar pustakanya mana?
Terima kasih. Semoga bermanfaat. Jazakalloh
Posting Komentar