Ada sejumlah cara mengukur tingkat
kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dapat dibagi kedalam dua kelompok
pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan
didalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat
ukur, yakni the generalized entropy (GE), ukuran Atkinson dan koefisien Gini.
Rumus dari GE dapat diuraikan sebagai berikut :
n
GE (α) = (1 / ( α2
– α | (1 / n)
∑ (yi /
Y^)α – 1 |
dimana n adalah jumlah individu (orang) didalam
sampel, yi adalah pendapatan dari individu (i=1,2…..n), dan Y^ =
(1/n) ∑yi adalah ukuran
rata-rata pendapatan nilai GE terletak antara 0 sampai OO. Nilai GE
nol berarti distribusi pendaptan merata (pendapatan dari semua individu didalam
sample data), dan 4 berarti kesenjangan yang sangat besar. Parameter a mengukur
besarnya perbedaan-perbedaan antara pendapatan-pendapatan dari
kelompok-kelompok yang berbeda didalam distribusi tersebut, dan mempunyai nilai
riil.
n
A = 1 - | (1/ n) ∑ (yi /
Y^) 1-€ | 1/(1-€)
i = 1
dimana
€ adalah parameter ketimpangan , 0<€<1 : semakin tinggi nilai €, semakin
tidak seimbang pembagian pendapatan. Nilai A mencakup dari 0 sampai 1, dengan
1, dengan 0 berarti tidak ada kepincangan dalam distribusi pendapatan.
Alat
ukur ketiga dari pendekatan aksioma ini yang selalu digunakan dalam setiap
studi-studi empiris mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan adalah
koefisien atau rasio Gini, yang formulanya sebagai berikut :
n n
Gini = (1 /2n2- Y^) ∑ ∑ |
yi – yi |
i=1 j=1
Nilai
koefisien gini berada pada selang 0 sampai 1. Bila 0 : kemerataan sempurna
(setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 :
ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan dalam pembagian
pendapatan, artinya satu orang ( atau satu kelompok pendapatan) disuatu Negara
menikmati semua pendaptan Negara tersebut.
Ide dasar dari perhitungan koefisien
Gini berasal dari kurva Lorenz . Koefisien Gini adalah rasio: (a) daerah didalam
grafik tersebut yang terletak diantara kurva Lorenz dan garis kemerataan
sempurna (yang membentuk sudut 45 derajat dari titik 0 dari sumbu y dan x)
terhadap (b) daerah segi tiga antara garis kemerataan tersebut dan sumbu y-x.
semakin tinggi nilai rasio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauh kurva
Lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidak merataan
distribusi pendapatan.
Komulatif % Jumlah
Penduduk
Selain tiga alat ukur diatas , cara
pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh bank dunia, adalah
dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga grup: 40% penduduk
dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20&
penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan
pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk
dengan pendapatan rendah. Menurut criteria bank dunia, tingkat ketidakmerataan
dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari
kelompok pendapatan rendah menerima lebih kecil 12% dari jumlah pendapatan.
Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai
17% dari jumlah pendapatan; sedangkan ketidakmerataan, apabila kelompok
tersebut menerima lebih dari 17% dari jumlah pendapatn.
Kriteria Bank Dunia.
Bank dunia mengklasifikasikan
ketidakmerataan berdasarkan tiga lapisan:
1
40 % penduduk berpendapatan terendahè Penduduk termiskin
2
40 % penduduk berpendapatan menengah
3
20 % penduduk berpendapatan tinggi
KLASIFIKASI
|
DISTRIBUSI
PENDAPATAN
|
Ketimpangan Parah
|
40 % penduduk berpendapatan
rendah menikmati < 12 % pendapatan nasional
|
Ketimpangan Sedang
|
40 % penduduk berpendapatan
rendah menikmati 12 - 17 % pendapatan nasional
|
Ketimpangan Lunak
(Distribusi Merata)
|
40 % penduduk berpendapatan
rendah menikmati > 17 % pendapatan nasional
|
Untuk mengukur kemiskinan ada tiga
indicator yang diperkenalkan oleh foster dkk (1984) yang sering digunakan dalam
banyak study empiris. Pertama , the incidence of poverty: persentase dari
populasi yang hidup didalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita
dibawah garis kemiskinan. Indeksnya sering disebut rasio H. kedua, the depth of
poverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan
sebutan poverty gap index. Indeks ini megestimasikan jarak/ perbedaan rata-rata
pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis
tersebut yang dapat dijelaskan dengan formula berikut.
Pa = (1/n) ∑i[(z –
yi)/ z]a untuk semua yi < z
Indeks Pa ini sensitif
terhadap distribusi jika a > 1. Bagian [(z – yi)/ z] adalah
perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan kelompok ke I
keluarga miskin (yi) dalam bentuk suatu persentase dari garis
kemiskinan. Sedangkan bagian [(z – yi)/ z]a adalah
persentase eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor, dan kalau dijumlahkann
dari orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi (n) maka menghasilkan
indeks Pa.
Ketiga, the severity of poverty yang
diukur dengan indeks keparahan kemiskinan ( IKK).indeks ini pada prinsipnya
sama dengan IJK. Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang miskin dari
garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan diantara penduduk miskin atau
penyebaran pengeluaran diantara penduduk penduduk miskin. Indeks ini yang juga
disebut Distributionally sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui
intensitas kemiskinan.
Adanya dua indicator tersebut
(selain rasio H) adalah untuk mengkonpensasi kelemahan dari rasio H yang tidak
bisa menjelaskan tingkat keparahan kemiskinan disuatu Negara. Selain itu, para
peneliti kemiskinan sudah lama tertarik pada dua factor lain, yaitu rata-rata
besarnya kekurangan pendapatan orang miskin dan besarnya ketimpangan dalam
distribusi pendapatan antar orang miskin. Dengan asumsi bahwa factor-faktor
lain tetap tidak berubah, tambah tinggi rata-rata besarnya kekurangan
pendapatan orang miskin, tambah besar gap pendapatan antar orang miskin, dan
kemiskinan akan tambah besar.
Dari
dasar pemikiran diatas, muncul indeks kemiskinan sen, yang memasukkan dua
factor tersebut, yakni koefisien Gini dan rasio H:
S=
H[I + (1-I) Gini]
Dimana I adalah jumlah rata-rata
defisit pendapatan dari orang miskin sebagai suatu persentase dari garis
kemiskinan, dan koefisien Gini yang mengukur ketimpangan antara orang miskin.
Apabila salah satu dari factor-faktor tersebut naik, tingkat kemiskinan
bertambah besar (yang diukur dengann S).
2.2.2
Penemuan Empiris
1. Distribusi Pendapatan
Studi-studi mengenai distribusi
pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran
konsumsi rumah tangga dari survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data
pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur
distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya
mempunyai suatu kelemahan yang serius : data pengeluaran konsumsi bias
memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak
mencerminkan tingkat pendapatan sebenarnya. Jumlah pengeluaran konsumsi
seseorang tidak harus sama dengan pendapatan yang diterimanya, bias lebih besar
atau lebih kecil. Misalnya, pendapatanya lebih besar tidak selalu berarti
pengeluaran konsumsinya juga besar, karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah
pendapatanya rendah tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah. Banyak
rumah tangga memakai kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu,
misalnya untuk membeli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak atau
bahkan liburan.
Indonesia Swiss
Rasio Angka Gini.
Tahun
|
Kota
|
Desa
|
Nasional
|
1965
|
0,34
|
0,35
|
0,35
|
1970
|
0,33
|
0,34
|
0,35
|
1976
|
0,35
|
0,31
|
0,34
|
1978
|
0,38
|
0,34
|
0,40
|
1980
|
0,36
|
0,31
|
0,34
|
1981
|
0,33
|
0,29
|
0,33
|
1984
|
0,32
|
0,28
|
0,33
|
1986
|
0,32
|
0,27
|
0,33
|
1987
|
0,32
|
0,26
|
0,32
|
1990
|
0,34
|
0,25
|
0,32
|
1993
|
0,33
|
0,26
|
0,34
|
1994
|
0,34
|
0,26
|
0,34
|
1995
|
0,35
|
0,27
|
0,35
|
1996
|
0,35
|
0,27
|
0,36
|
1997
|
0,35
|
0,26
|
0,37
|
- Tahun 1065 – 1970 laju rata-rata pertahun PDB 2,7 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,35
- 1971 – 1980 laju rata-rata pertahun PDB 6 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,4
- Tahun 1065 – 1970 laju rata-rata pertahunPDB 2,7 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,35
- 1981 – 1990 laju rata-rata pertahun PDB 5,4 % dengan angka Gini rat-rata per per tahun 0,3
2.2.2 Kemiskinan
Booth (2000), dalam penelitiannya
telah menginventarisir data kemiskinan di Indonesia secara empiris. Tahun 1976
– 1981 menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan di daerah perkotaan dan
pedesaan, dengan kecenderungan angka-angka di bawah garis kemiskinan turun
lebih tajam di daerah pedesaan. Tahun 1981 diperkirakan terdapat 40.6 juta
orang Indonesia di bawah garis kemiskinan, dimana 31,3 juta orang diantaranya
berada di wilayah perdesaan, dan 9.3 juta sisanya ada di wilayah perkotaan.
Selama
dekade 1975-1985, pendapatan per kapita buruh tani rumah tangga tumbuh sedikit
lebih cepat dari pada rata-rata nasional, sementara orang-orang miskin petani
(yang beroperasi kurang dari 0,5 hektar) tumbuh lebih lambat, sehingga pada
tahun 1985 rumah tangga buruh tani berpenghasilan rata-rata sedikit lebih baik
dari pada rumah tangga petani miskin.
Antara 1976-1981, yang merupakan
tahun-tahun bonanza minyak, penurunan angka kemiskinan rata-rata per tahun
menurut BPS adalah 5,6%. Setelah 1981, pendapatan Indonesia dari ekspor minyak
mulai turun, dan pemerintah menghadapi serangkaian kebijakan yang di desain
untuk peningkatan ekspor non minyak, melakukan verifikasi dasar pajak dalam
negeri, menarik lebih banyak investasi asing, melakukan deregulasi sektor
keuangan, dan meningkatkan efisiensi sektor perusahaan publik, dan kebijakan
makro lainnya.
Tahun 1987-1996 (BPS), terjadi
penurunan angka garis kemiskinan yang lebih lambat. Hal ini terutama terjadi di
daerah pedesaan, sedangkan pada tahun 1976-1987 jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan di daerah pedesaan menurun hampir 7% per tahun, dan antara 1987 –
1996, tingkat penurunan angka kemiskinan tiap tahun melambat menjadi hanya
sekitar 3% per tahun.
Antara tahun 1993 dan 1996, hasil
Gini koefisien terhadap pengeluaran per kapita di daerah perkotaan Indonesia
meningkat 0,33-0,36; di daerah pedesaan meningkat hanya sedikit, dan tetap jauh
lebih rendah dari daerah perkotaan. Peningkatan kemiskinan relatif di
daerah-daerah pedesaan juga jauh lebih rendah. Pada tahun 1996, jumlah penduduk
di desa yang pengeluarannya di bawah setengah pengeluaran rata-rata, mencapai
setengah dari jumlah penduduk di perkotaan. Ada juga bukti bahwa sejak
pertengahan 1980-an mekanisme yang mempromosikan sebuah distribusi pendapatan
yang egaliter di daerah pedesaan, mungkin berjalan kurang efektif di bandingkan
pada dekade 1975-1985.
Pengalaman dari tahun 1987-1999
menunjukan bahwa elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi menurun di
Indonesia. Dengan kata lain, pertumbuhan yang cepat pada tahun 1987-1999
disertai dengan peningkatan ketidakmerataan, terutama di daerah perkotaan, dan
peningkatan ketidakmerataan ini mengurangi dampak pertumbuhan pada penurunan
tingkat kemiskinan.
Pada tahun 1996, 43% dari penduduk
miskin berada di luar Jawa dan Bali. Lebih dari 20% berada di Kalimantan,
Sulawesi dan kepulauan bagian timur (NTT, NTB, Timor Timur dan Maluku).
Tampaknya masih banyak yang meragukan teori yang mengatakan bahwa sektor
pertanian yang relative terbelakang ditambah lagi dengan kepemilikan tanah yang
sempit merupakan faktor utama yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan di
daerah pedesaan.
Tidak bisa disangkal bahwa pada masa
pemerintahan soeharto Indonesia mengalami penurunan dalam angka kemiskinan
absolute dan ada kenaikan dalam indikator-indikator kesejahreaan lainnya
seperti tingkat kematian bayi dan angka melek huruf. Studi comparative
menunjukkan bahwa akhir tahun 1980-an tingkat kemiskinan di Indonesia berada di
bawah Filipina, meskipun jauh di atas Thailand dan Malaysia (Booth, 1997; Ahuja
et al., 1997; Mizoguchi dan Yoshida, 1998; dalam Booth, 2000). Tetapi penurunan
angka kemiskinan relatif melambat. Angka kemiskinan relatif yang meningkat
begitu tajam di beberapa kota-kota terbesar di Indonesia antara tahun 1987 dan
1996 pada saat rata-rata pendapatan dan pengeluaran konsumen juga meningkat
dengan cepat setidaknya merupakan sebagian penjelasan
tentang adanya pertumbuhan sosial,
ketegangan rasial dan agama yang menjadi lebih jelas bahkan sebelum dampak
krisis keuangan menghantam Indonesia pada akhir tahun 1997.
Walaupun terjadi penurunan
kemiskinan di Indonesia antara tahun 1976 – 1996, masalah kemiskinan relatif
dan kekurangan masih serius pada tahun-tahun terakhir rezim Soeharto, bahkan
sebelum dampak krisis keuangan dan penyusunan program berikutnya terhadap
pendapatan nasional. Saat krisis moneter tahun 1997, peningkatan angka
kemiskinan terbesar terjadi di perkotaan, dimana jumlah penduduk miskin di
perkotaan dalam periode tersebut meningkat lebih dari 80%. Padahal, dalam
periode yang sama, jumlahnya di perdesaan hanya naik sebesar 30%. Sebagai
langkah antisipasi, pemerintah harus memberikan prioritas yang tinggi untuk
program-program anti-kemiskinan.
Pada tahun 2002 – 2007, terdapat
indikasi kuat bahwasanya meskipun terdapat kecenderungan positif dalam
penanggulangan kemiskinan, tetapi ternyata implikasinya belum seperti yang
diharapkan. Proporsi penduduk yang hamper miskin masih cukup tinggi, dan
apabila terjadi sedikit 'gejolak', maka dengan sangat mudah mereka akan kembali
menjadi miskin. Namun tidak dapat dipungkiri, kesenjangan dan disagregasi
kemiskinan memang terjadi di Indonesia. Saat ini (tahun 2007) proporsinya
mencapai 16.6%, tetapi ada anggapan bahwa dibalik angka ini sebetulnya terdapat
fakta kesenjangan antar provinisi yang cukup besar (Kuncoro, 2008).
2.2.3 Kebijakan
Antikemiskinan
Untuk mengetahui kenapa diperlukan
kebijakan anti kemiskinan dan distribusi pendapatan, perlu diketahui terlebih
dahulu bagaimana hubungan alamiah antara pertumbuhan ekonomi, kebijakan,
kelembagaan, dan penurunan kemiskinan.
Untuk mendukung strategi yang tepat
dalam memerangi kemiskinan diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang
sesuai dengan sasaran atau tujuan perantaranya dapat dibagi menurut waktu,
yakni jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Intervensi jangka
pendek adalah terutama pembangunan sector pertanian, usaha kecil, dan ekonomi
pedesaan. Hal ini sangat penting melihat kenyataan bahwa disatu pihak, hingga
saat ini sebagian besar wilayah Indonesia masih pedesaan dan sebagian penduduk
Indonesia.
Kebijakan lembaga dunia mencakup World Bank, ADB,
UNDP, ILO, dsb.
World
bank (1990) peprangan melawan kemiskinan melalui:
a) Pertumbuhan ekonomi yang luas dan menciptakan lapangan kerja yang
padat karya
b) Pengembangan SDM
c) Membuat jaringan pengaman social bagi penduduk miskin yang tidak mampu
memperoleh dan menikmati pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja serta
pengembangan SDM sebagai akibat dari cacat fisik dan mental, bencana, konflik
social atau wilayah yang terisolasi
World
bank (2000) memberikan resep baru dalam memerangi kemiskinan dengan 3 pilar:
a) Pemberdayaan yaitu proses peningkatan kapasitas penduduk miskin untuk
mempengaruhi lembaga-lembaga pemerintah yang mempengaruhi kehidupan mereka
dengan memperkuat partisipasi mereka dalam proses politik dan pengambilan
keputusan tingkat local.
b) Keamanan yaitu proteksi bagi orang miskin terhadap goncangan yang
merugikan melalui manajemen yang lebih baik dalam menangani goncangan ekonomi
makrodan jaringan pengaman yang lebih komprehensif
c) Kesempatan yaitu proses peningkatan akses kaum miskin terhadap modal
fisik dan modal manusia dan peningkatan tingkat pengembalian dari asset asset
tersebut.
ADB
(1999) menyatakan ada 3 pilar untuk mengentaskan kemiskinan:
a) Pertumbuhan berkelanjutan yang prokemiskinan
b) Pengembangan social yang mencakup: pengembangan SDM, modal social,
perbaikan status perempuan, dan perlindungan social
c) Manajemen ekonomi makro dan pemerintahan yang baik yang dibutuhkan
untuk mencapai keberhasilan
d) Factor tambahan:
·
Pembersihan polusi
udara dan air kota-kota besar
· Reboisasi
hutan, penumbuhan SDM, dan perbaikan tanah
Salah
satu contoh kebijakan Anti Kemiskinan pemerintah:
PAKET
INSENTIF 1 OKTOBER 2005
Paket Insentif 1 Oktober 2005
merupakan bagian integral dan implementasi serta tindak lanjut dari Paket
Kebijakan 31 Agustus 2005 yang telah disampaikan oleh Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono. Paket ini juga didisain dalam kerangka reformasi ekonomi untuk
memperkuat fondasi perekonomian dan mempertahankan momentum percepatan laju
pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan daya saing dan menggairahkan investasi
dalam rangka penciptaan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Paket ini
juga merupakan program insentif dan kompensasi bagi seluruh stakeholders yang
mencakup (i) kelompok rumah tangga berpendapatan rendah; (ii) petani; (iii)
pekerja dan (iv) dunia usaha (lihat Lampiran 2 tentang rincian dan kelompok
sasaran dari kebijakan) Cakupan paket kebijakan ini terdiri dari :
A.
Paket Insentif Fiskal
B.
Reformasi Regulasi dalam Sektor Perdagangan
C.
Reformasi Regulasi dalam Sektor Perhubungan
D.
Peningkatan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Beras dan Gabah Petani
E.
Subsidi Langsung Tunai
Rincian
dari Paket Insentif termasuk tujuan, waktu implementasi dan kelompok sasaran
kebijakan diuraikan sebagai berikut.
A.
PAKET INSENTIF FISKAL
Dalam
kebijakan fiskal, insentif yang akan diberikan Pemerintah akan terdiri dari
berbagai bentuk kebijakan yang ditujukan untuk memperkuat daya saing industri,
memperbaiki iklim usaha dan memberikan kompensasi kelompok pekerja.
Implementasi insentif fiskal ini akan berlangsung secara bertahap mulai tanggal
1 Oktober hingga 1 januari 2006.
Bentuk
insentif fiskal tersebut meliputi :
1.
Perubahan status PPN atas produk primer menjadi Barang Bukan Kena Pajak
Perubahan status PPN atas produk primer menjadi barang bukan kena pajak
ditujukan untuk memberikan insentif bagi produk-produk primer, khususnya
produk-produk pertanian. Perubahan ini merupakan bagian dari reformasi pajak
dan akan efektif Januari 2006
2.
Penundaan pengenaan PNBP untuk transaksi ekspor dan impor Kebijakan ini
ditujukan untuk memperlancar dan meringankan biaya transaksi ekspor dan impor.
Penundaan ini akan dituangkan dalam perubahan PP No.44/2003 berlaku mulai 1 November
2005 dan berlaku selama 3 bulan menunggu berlakunya secara efektif
3.
Peningkatan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) Kebijakan ini ditujukan untuk
meringankan beban wajib pajak khususnya buruh yang berpendapatan rendah.
Besarnya PTKP dinaikkan 10% dari Rp 1juta per bulan menjadi Rp 1,1 juta per
bulan. Perubahan ini mulai efektif mulai 1 Januari 2006
- Pembebasan bea masuk untuk beberapa produk Pembebasan bea masuk ini dilakukan dengan memperkuat daya saing industry khususnya industri pengguna yang umumnya adalah usaha kecil dan menengah. Khusus untuk gula, penurunan tarif bea masuk dilakukan dengan mempertimbangkan baik kepentingan petani tebu maupun konsumen baik konsumen antara seperti industri makanan dan minuman maupun konsumen akhir.
Adapun
produk yang akan dibebaskan bea masuk meliputi :
a.
Pembebasan bahan baku dan komponen industri alat-alat berat;
b.
Pembebasan bea masuk atas impor Engine Assy untuk angkutan umum;
c.
Pembebasan bea masuk converter kit untuk energi;
d.
Penurunan bea masuk gula terdiri dari :
− Raw sugar dari Rp 550/kg menjadi Rp 250/kg
− Gula rafinasi dari Rp 790/kg menjadi Rp 530/kg
− Gula Putih dari Rp 790/kg menjadi Rp 530/kg
5.
Percepatan pembatalan Perda mengenai pajak dan retribusi yang menghambat dunia
usaha. Kebijakan ini ditujukan untuk memperbaiki iklim usaha yang merupakan
bagian dari program berlanjut dalam Rencana Kerja Tahunan Pemerintah 2005 dan
2006.
6.
Penurunan tarif dasar Pajak Kendaraan Bermotor untuk kendaraan umum Kebijakan
ini akan dilakukan untuk memberikan keringanan bagi angkutan umum. Perubahan
dituangkan dalam Permendagri No 16/2005
B. REFORMASI REGULASI DALAM BIDANG
PERDAGANGAN
Fokus
dari reformasi ini adalah untuk memperlancar arus barang untuk meningkatkan
daya saing industri dan sekaligus untuk melindungi produk-produk industri dalam
negeri dari persaingan yang tidak fair.
Ruang
lingkup pembebasan meliputi tiga aspek yaitu :
(a)
Pembebasan verifikasi/penelusuran produk impor untuk :
−
Garam untuk kebutuhan farmasi;
−
Tire cord;
−
Filter cloth;
−
Kain goni; dan
−
Karung goni.
(b)
Menambah jalur prioritas dan jalur hijau kepada importir produsen.
(c)
Upaya mengatasi penyelundupan dengan memperlakukan jalur untuk importer umum
bagi pelumas, rokok, garmen, sepatu, kosmetik dan barang elektronika dan memperketat
Surat Keterangan Asal (SKA)
C. REFORMASI REGULASI DALAM BIDANG
PERHUBUNGAN
Sasaran
dari Reformasi Regulasi dalam bidang Perhubungan ini adalah untuk mengurangi
ekonomi biaya tinggi sehingga diharapkan untuk meningkatkan daya saing produk
Indonesia baik di pasar internasional maupun pasar domestik. Diharapkan
reformasi ini akan memperkuat integrasi ekonomi domestik.
Sasaran
utama reformasi ini adalah upaya penguatan daya saing produk pertanian
Cakupan
reformasi meliputi tiga bidang yaitu :
(i)
mengurangi jumlah jembatan timbang dari 127 buah menjadi 64 buah;
(ii)
menurunkan harga CHC dan menetapkan surcharge tidak lebih dari 50% yang
diharapkan menurunkan THC dari US$ 150/container menjadi US$ 93/container;
(iii)
pembatalan 36 Perda sektor perhubungan tentang dispensasi kelebihan beban
angkutan kendaraan di jembatan timbang. Reformasi Regulasi ini akan efektif
berlaku Oktober 2005.
D. PERUBAHAN INPRES BERAS
Perubahan
Inpres 2/2005 tersebut terutama adalah untuk menjaga stabilitas pendapatan
petani akibat kenaikan harga BBM dengan tetap memperhatikan kepentingan
konsumen. Oleh karena itu harga pembelian pemerintah ditingkat petani (harga
gabah kering panen/GKP) akan dinaikkan dan untuk harga beras akan dinaikkan
dengan presentase lebih rendah.
E. SUBSIDI LANGSUNG TUNAI
Program
Penyesuaian Harga BBM di atas terkait dengan perubahan bentuk subsidi dari
subsidi pada komoditi menjadi subsidi langsung tunai kepada 15,5 juta rumah
tangga (kurang lebih 30% dari total rumah tangga Indonesia) yang berpendapatan rendah.
Pemberian
subsidi dimulai pada tanggal 1 Oktober 2005 dengan memberikan bantuan uang
tunai selama 3 bulan (Oktober – Desember 2005) sebesar Rp. 100.000 per bulan.
Program
ini akan dilanjutkan pada tahun 2006 setelah dilakukan monitoring dan evaluasi
untuk penyempurnaan program lebih lanjut. Dalam jangka panjang diharapkan
program subsidi lansung tunai ini akan disempurnakan dan dikaitkan dan
dijadikan suplemen dari kebijakan anti kemiskinan yang lebih struktural
(conditional cash transfer)
2 komentar:
Wahhh Ini bisa digunakan untuk bahan diskusi....." I love it.
Thanks, sangat membantu sbg referensi
Posting Komentar