2.1.Pengertian
dan Konsep Sufi
Banyak
qaul atau pendapat yang membicarakan dan membahas mengenai
istilah sufi, apa pengertiannya dan
bagaimana konsep keluruhannya secara harfiah maupun secara ma’nawi. Sebagaimana
yang telah diajarkan dalam ilmu tasawuf, tertuang beberapa cara untuk memenuhi
kebutuhan spiritual dan dalam dalam hal ini orang yang menjalankan
ajaran-ajaran atau cara-cara dalam tasawuf maka mereka itulah yag disebut sufi. Sebagian berpendapat seorang sufi
adalah mereka yang selalu berpakaian putih dan aktif atau rajin serta
mengutamakan kegiatan beribadah kepada Allah SWT dibandingakan
kegiatan-kegiatan lainnya khususnya kegiatan yang masih berhubungan dengan
hal-hal yang berbau duniawi.
Pengertian
sufi menurut Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa mereka adalah sekelompok
orang-orang yang memilih untuk berpakaian wol (shuf) dan mengasingkan diri dari masyarakat dan berkhalwat dalam
berbagai padepokan dan pondok yang ada di dalam pegunungan (daerah-daerah yang
jauh dari masyarakat)[1]. Sebagaimana pengertian
sufi yang telah diseutka sebelumnya, terlihat jelas bahwa istilah sufi ada itu
dinishbatkan (disandarkan) pada kata shuf yang berarti wol dengan pengertian
sebagaimana yang telah disebutkan.
Menurut
beberapa ulama lain kata sufi dinishbatkan dari As-Shuffah yaitu sebuah komunitas yang memiliki karateristik yang
selau menyibukkan diri dengan kegiatan ibadah dan tidak memang waktu dengan
sia-sia. Mereka lebih memilih menjauhi kehidupan dunia dan memilih keudupan
zuhud. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa kata sufi itu berasal dari
kata shafa yang berarti suci. Dengan
demikian mereka memiliki cara khusus dalam beraktifitas dan beribadah yaitu
dengan atasa dasar kesucian hati dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
Seorang
sejarahwan dalam kalangan bangsa Persia Joseph von Hammer menola pendapat yang
menyatakan bahwa kata sufi dinishbatkan
pada kata ash-shuf (wol). Dia menyebutkan
bahwa istilah sufi disnishbatkan kepada orang-orang Hindu kuno yang terkenal
dengan sebutan “orang-orang bijak tanpa busana”[2]. Istilah “sufi” jika dilihat kandungannya dalam
bahasa Yunani, sebagaimana yang telah berkembang bahwa pemahaman makna sufi, sama dengan pengertian makna yang
terkandung dalam kata shopos yang
berkembang dalam kalangan para filoshof Yunani. Sebagai tambahan dalam hal ini
yang diambil yaitu berupa maknanya saja bukan lafadznya yang diambil. Karena
dalam hal ini sangat tidak masuk akal bila akar sebuah kata dalam bahasa Arab
diambil dari bahasa lain, yakni bahasa Yunani atau non-Arab.
Secara lugas sufi adalah seseorang yang
mendalami tentang ajaran Tasawuf, yang penekanannya adalah “bagaimana
mensucikan hati”. Untuk kearah itu maka
seseorang yang mempelajari Tasawuf (Sufi) berpendapat bahwa dirinya haruslah
dilatih, guna memperoleh tanjakan-tanjakan bathin menuju kearah maqam Tawakal (penyerahan
diri secara total kepada Allah). Dengan demikian menurut beberapa ulama tasawuf
soerang sufi bisa dikatakan sufi jika bisa melewati beberapa tahapan tertentu
dalam beribadah kepada Allah seperti:
mahabah, makrifat dan seterusnya.
2.2.Riwayat
hidup Ibnu al-Arabi
Ibnu
al-Arabi merupakan seorang sufi yang terkemuka, sangat sedikit sekali
tokoh-tokoh spiritual muslim yang begitu terkenalnya hingga sampai ke wilayah
Barat sebagaimana yang dicapai oleh Ibnu
al-Arabi. Dalam dunia islam sendiri, tampaknya tidak ada seorang tokoh pun yang
begitu memiliki pegaruh yang begitu luas dan begitu dalam terhadap kehidupan
intelektual masyarakatnya dalam kurun waktu lebih dari 700 tahun.[3]
Sufi
yang mempunyai nama lengkap Muhyiddin Ibnu Alarabi ini lahir di Murcia, masuk
dalam wilayah Spanyol tepatnya pada tahun 1165. Ayahnya adalah seorang pegawai
pemerintah pada masa Muhammad ibn Sa’id Mardanish, penguasa Murcia. Dia memiliki
keluarga yang terhormat, karena pamannya (dari pihak ibu) adalah penguasa
Tlemcem, Algeria. Ketika dinasti Almohad (Al-Muwahidin) menyerbu Murcia pada
tahun 567 H/ 1172 M, keluarganya pindah ke Seville, di sana ayahnya kembali
bekerja sebagai pegawai pemerintah dan Ibnu Arabi sendiri memulai karirnya
sebagai sekretaris gubernur, serta disana beliau juga melanjutkan studinya.
Setelah beberapa lama, untuk pertama kalinya beliau meniggalkan Spanyol dan
pergi menuju ke Tunis, tepatnya pada tahun 590 H/1193 M. Disanalah beliau mulai
mendalami tentang sufi hingga pada ahirnya seorang arif mengajurkan kepada
Beliau agar pergi ke Timur untuk melakukan ibadah haji. Pada tahun 599 H/ 1202
M Ibnu Arabi pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji, dan dari sanalah
beliau mulai melakukan perjalanan ke pusat wilayah islam, seperti Iraq, Mesir,
Syria dan Turki. Hingga akhirnya beliau tiba di Damaskus dan menetap di sana
bersama beberapa muridnya, dan Ibnu Arabi sering memanfaatkan waktunya untuk
belajar, menulis dan mengajar. Sehingga beliau meniggal, tepatnya pada tahun
1240 M.
Selain
terkenal sebagai seorang ulama sufi yang masyhur, beliau juga dikenal sebagai
seorang penulis yang produktif, jumlah buku yang telah dikarangnya menurut
perhitungan sejarahwan mencapai ebih dai 200 buku, di antaranya ada yang berupa
10 halaman, tetapi ada pula yng berupa ensiklopedia tentang sufisme seperti Futuhah al-Makkah.
2.3.Konsep
sufi menurut Ibn al-Arabi
Ibnu
Arabi merupakan salah satu dari tokoh-tokoh tasawuf falsafi yang terkenal,
beliau mempunyai pandangan atau konsep tersendiri mengenai sufi, beliau
menyatakan sebuah paham yang berbunyi bahwa antara manusia dan Tuhan pada
hakikatnya adalah satu kesatuan wujud, yang mana pada akhirnya paham inilah
yang akan menjadi sentral ajaran dari Ibnu Arabi, yang kemudian akan sering
dikenal dengan istilah Wahdatul wujud.
Wahdat al-wujud adalah
istilah yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat
dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, dan
kesatuan, sedangkan al-wujud artinya
ada[4]. Dengan demikian wahdat al-wujud mempunyai arti kesatuan
wujud. Kata wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam.
Sebagian ulama’ terdahulu mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang zatnya tidak
dapat dibagi lagi. Selain itu kata wahdat menurut ahli filasafat dan sufistik
sebagai suatu kesatuan antara roh dengan materinya, substansi (hakikat) dan
forma (bentuk), antara yang lahir dan yang bathin[5]. Adapun pemahaman yang
digunakan oleh para sufi selanjutnya mengenai wahdat al-wujud yaitu sebagaimana yang telah disebutkan di atas
bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya memiliki satu kesatuan wujud.
Walaupun wahdat al-wujud merupakan
ajaran yang dibawa oleh Ibnu Arabi, tetapi istilah wahdat al-wujud yang dipakai
untuk menyebut ajarannya itu bukanlah berasal dari dia, melainkan dari Ibnu
Taimiyah, seorang tokoh sufi yang terkenal paling keras dalam mengecam dan
mengkritik ajaran Ibnu Arabi.
Menurut Ibnu Arabi, wujud yang ada semua
ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik juga,
tidak ada perbedaan antara keduanya (makhluk dan khalik) jika dilihat dari segi
hakikat[6]. Paham ini merujuk kepada
timbulnya paham yang menyatakan bahwa antar makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan
dari wujud tuhan. Dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan
wujud makhluk hanyalah bayangan dari khaliq. Landasan paham ini dibangun
berdasarkan pemikiran bahwa Allah SWT sebagai yang diterangkan dalam al-hulul
yang berarti yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa Tuhan dapat mengambil
tempat pada diri manusia. Bahwasannya di dalam alam dan diri manusia terdapat
sifat-sifat tuhan, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham wahdat al-wujud ini juga mengatakan bahwa yang ada di dalam
alam ini pada dasarnya satu, yaitu satu keberadaan yang hakiki yang hanya
dimiliki oleh Allah SWT.
BAB III
KESIMPULAN
Banyak konsep yang menjelaskan tentang sufi
diantaranya seperti, sekumpulan orang-orang yang selalu mengutamakan kepentingan
akhirat daripada kepentingan duniawi dengan melakukan ibadah kepada Allah SWT
secara terus-menerus sehingga mereka merasa kedekatan dengan Tuhannya tidak ada
yang dapat membuat hijab antara mereka dengan sang Khaliq. Sebagian ulama’
berpendapat bahwa sufi merupakan sekumpulan orang-orang yang yang mengasingkan
dirinya dari kehidupan bermasyarakat dan sering berkhlawat di daerah pegunungan
atau suatu tempat yang jauh dari kehidupan duniawi.
Ibnu Arabi merupakan salah seorang ulama’ sufi yang terkenal dengan sentral
ajarannya yang sering disebut dengan istilah wahdat al-wujud yang
bermakna satu kesatuan, maksudnya yaitu antara makhluk dan sang Khalik jika
dilihat dari hakekatnya pada dasarnya satu tidak ada perbedaan. Dengan sang Khalik
sebagai wujud yag hakiki, sedangkan makhluk hanyalah bayangan dari sang khalik
yang menyimpan sifat-sifat dari Allah SWT. Dengan ajaran seperti ini banyak
pertentangan dari ulama’ sufi mengenai ajaran tersebut. Mereka beranggapan
bahwa paham wahdat al-wujud mulai melenceng jauh dari pemahaman tasawuf
pada dasarnya.
Salah satu paham sufi yang terkenal
dengan pemaknaan bahwa hubungan antara makhluk dan Sang Khalik itu adalah satu,
merupakan paham yang dibawa oleh Ibnu Arabi dan yang kemudian akan lebih sering
dikenal dengan sebutn wahdat al-wujud.
Banyak kecaman dan gugatan dari sufi yang lainnya mengenai ajaran ini,
dikarenakan inti dari paham ini yaitu yang mengatakan bahwa Allah SWT dan
manusia itu satu pada hakekatnya. Tapi Ibnu Arabi menaggapi pendapatpendapat
terebut dengan menyatakan alas an yang bersifat ekstrim dan sulit dipahamai
oleh pemikiran yang biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf antara Agama dan Filsafat: Sebuah Kritik Metodologis.
Bandung: Pustaka Hidayah.
Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Toriquddin, Muhammad. 2008. Sekularitas Tasawuf, dalam Dunia Modern. Malang: UIN-Malang Press.
C. Chittick, William. 2001. The Sufi Path of Knowledge: Pengetahuan Spiritual Ibnu al-‘Araby. Yogyakarta:
Qalam.
[1] )Ibrahim
Hilal, TASAWUF antara Agama dan FIlsafat,
(Bandung: Pustaka hidayah,2002), cet. I, Hal.42.
[2] )Ibrahim
Hilal,ibid., hal.43-44.
[3])
William C. Chittick. Sufi path of
knowledge: Pengetahuan Spiritual Ibnu Al-Araby.(Yogyakarta: Qalam,2001) ce.
I, hal. 4
[4])
Abuddin Nata. AKHLAK TASAWUF.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2006) hal.247
[5])
Ibid.
[6])Moh.
Toriquddin. Sekularitas Tasawuf,
memumikan Tasawuf dalam Dunia Modern. (Malang: UIN-Malang Press.2008)hal.
175
1 komentar:
Makasiii... Ngopi yaaaaa :)
Posting Komentar