Jumat, 11 Februari 2011

Makalah Tasawuf Ibnu Arabi


2.1.Pengertian dan Konsep Sufi
Banyak qaul  atau pendapat yang membicarakan dan membahas mengenai istilah sufi, apa pengertiannya dan bagaimana konsep keluruhannya secara harfiah maupun secara ma’nawi. Sebagaimana yang telah diajarkan dalam ilmu tasawuf, tertuang beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan dalam dalam hal ini orang yang menjalankan ajaran-ajaran atau cara-cara dalam tasawuf maka mereka itulah yag disebut sufi. Sebagian berpendapat seorang sufi adalah mereka yang selalu berpakaian putih dan aktif atau rajin serta mengutamakan kegiatan beribadah kepada Allah SWT dibandingakan kegiatan-kegiatan lainnya khususnya kegiatan yang masih berhubungan dengan hal-hal yang berbau duniawi.
Pengertian sufi menurut Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa mereka adalah sekelompok orang-orang yang memilih untuk berpakaian wol (shuf) dan mengasingkan diri dari masyarakat dan berkhalwat dalam berbagai padepokan dan pondok yang ada di dalam pegunungan (daerah-daerah yang jauh dari masyarakat)[1]. Sebagaimana pengertian sufi yang telah diseutka sebelumnya, terlihat jelas bahwa istilah sufi ada itu dinishbatkan (disandarkan) pada kata shuf yang berarti wol dengan pengertian sebagaimana yang telah disebutkan.
Menurut beberapa ulama lain kata sufi  dinishbatkan dari As-Shuffah yaitu sebuah komunitas yang memiliki karateristik yang selau menyibukkan diri dengan kegiatan ibadah dan tidak memang waktu dengan sia-sia. Mereka lebih memilih menjauhi kehidupan dunia dan memilih keudupan zuhud. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa kata sufi itu berasal dari kata shafa yang berarti suci. Dengan demikian mereka memiliki cara khusus dalam beraktifitas dan beribadah yaitu dengan atasa dasar kesucian hati dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Seorang sejarahwan dalam kalangan bangsa Persia Joseph von Hammer menola pendapat yang menyatakan bahwa kata sufi dinishbatkan pada kata ash-shuf (wol). Dia menyebutkan bahwa istilah sufi disnishbatkan kepada orang-orang Hindu kuno yang terkenal dengan sebutan “orang-orang bijak tanpa busana”[2]. Istilah “sufi” jika dilihat kandungannya dalam bahasa Yunani, sebagaimana yang telah berkembang bahwa pemahaman makna sufi, sama dengan pengertian makna yang terkandung dalam kata shopos yang berkembang dalam kalangan para filoshof Yunani. Sebagai tambahan dalam hal ini yang diambil yaitu berupa maknanya saja bukan lafadznya yang diambil. Karena dalam hal ini sangat tidak masuk akal bila akar sebuah kata dalam bahasa Arab diambil dari bahasa lain, yakni bahasa Yunani atau non-Arab.
 Secara lugas sufi adalah seseorang yang mendalami tentang ajaran Tasawuf, yang penekanannya adalah “bagaimana mensucikan hati”.  Untuk kearah itu maka seseorang yang mempelajari Tasawuf (Sufi) berpendapat bahwa dirinya haruslah dilatih, guna memperoleh tanjakan-tanjakan bathin menuju kearah maqam Tawakal (penyerahan diri secara total kepada Allah). Dengan demikian menurut beberapa ulama tasawuf soerang sufi bisa dikatakan sufi jika bisa melewati beberapa tahapan tertentu dalam beribadah kepada Allah seperti:  mahabah, makrifat dan seterusnya.




2.2.Riwayat hidup Ibnu al-Arabi
Ibnu al-Arabi merupakan seorang sufi yang terkemuka, sangat sedikit sekali tokoh-tokoh spiritual muslim yang begitu terkenalnya hingga sampai ke wilayah Barat sebagaimana  yang dicapai oleh Ibnu al-Arabi. Dalam dunia islam sendiri, tampaknya tidak ada seorang tokoh pun yang begitu memiliki pegaruh yang begitu luas dan begitu dalam terhadap kehidupan intelektual masyarakatnya dalam kurun waktu lebih dari 700 tahun.[3]
Sufi yang mempunyai nama lengkap Muhyiddin Ibnu Alarabi ini lahir di Murcia, masuk dalam wilayah Spanyol tepatnya pada tahun 1165. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah pada masa Muhammad ibn Sa’id Mardanish, penguasa Murcia. Dia memiliki keluarga yang terhormat, karena pamannya (dari pihak ibu) adalah penguasa Tlemcem, Algeria. Ketika dinasti Almohad (Al-Muwahidin) menyerbu Murcia pada tahun 567 H/ 1172 M, keluarganya pindah ke Seville, di sana ayahnya kembali bekerja sebagai pegawai pemerintah dan Ibnu Arabi sendiri memulai karirnya sebagai sekretaris gubernur, serta disana beliau juga melanjutkan studinya. Setelah beberapa lama, untuk pertama kalinya beliau meniggalkan Spanyol dan pergi menuju ke Tunis, tepatnya pada tahun 590 H/1193 M. Disanalah beliau mulai mendalami tentang sufi hingga pada ahirnya seorang arif mengajurkan kepada Beliau agar pergi ke Timur untuk melakukan ibadah haji. Pada tahun 599 H/ 1202 M Ibnu Arabi pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji, dan dari sanalah beliau mulai melakukan perjalanan ke pusat wilayah islam, seperti Iraq, Mesir, Syria dan Turki. Hingga akhirnya beliau tiba di Damaskus dan menetap di sana bersama beberapa muridnya, dan Ibnu Arabi sering memanfaatkan waktunya untuk belajar, menulis dan mengajar. Sehingga beliau meniggal, tepatnya pada tahun 1240 M.
Selain terkenal sebagai seorang ulama sufi yang masyhur, beliau juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif, jumlah buku yang telah dikarangnya menurut perhitungan sejarahwan mencapai ebih dai 200 buku, di antaranya ada yang berupa 10 halaman, tetapi ada pula yng berupa ensiklopedia tentang sufisme seperti Futuhah al-Makkah.

2.3.Konsep sufi menurut Ibn al-Arabi
Ibnu Arabi merupakan salah satu dari tokoh-tokoh tasawuf falsafi yang terkenal, beliau mempunyai pandangan atau konsep tersendiri mengenai sufi, beliau menyatakan sebuah paham yang berbunyi bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud, yang mana pada akhirnya paham inilah yang akan menjadi sentral ajaran dari Ibnu Arabi, yang kemudian akan sering dikenal dengan istilah Wahdatul wujud.
Wahdat al-wujud adalah istilah yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, dan kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada[4]. Dengan demikian wahdat al-wujud mempunyai arti kesatuan wujud. Kata wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Sebagian ulama’ terdahulu mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi lagi. Selain itu kata wahdat menurut ahli filasafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara roh dengan materinya, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang lahir dan yang bathin[5]. Adapun pemahaman yang digunakan oleh para sufi selanjutnya mengenai wahdat al-wujud yaitu sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya memiliki satu kesatuan wujud. Walaupun wahdat al-wujud ­merupakan ajaran yang dibawa oleh Ibnu Arabi, tetapi istilah wahdat al-wujud  yang dipakai untuk menyebut ajarannya itu bukanlah berasal dari dia, melainkan dari Ibnu Taimiyah, seorang tokoh sufi yang terkenal paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran Ibnu Arabi.
Menurut Ibnu Arabi, wujud yang ada semua ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik juga, tidak ada perbedaan antara keduanya (makhluk dan khalik) jika dilihat dari segi hakikat[6]. Paham ini merujuk kepada timbulnya paham yang menyatakan bahwa antar makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud tuhan. Dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayangan dari khaliq. Landasan paham ini dibangun berdasarkan pemikiran bahwa Allah SWT sebagai yang diterangkan dalam al-hulul yang berarti yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa Tuhan dapat mengambil tempat pada diri manusia. Bahwasannya di dalam alam dan diri manusia terdapat sifat-sifat tuhan, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham wahdat al-wujud  ini juga mengatakan bahwa yang ada di dalam alam ini pada dasarnya satu, yaitu satu keberadaan yang hakiki yang hanya dimiliki oleh Allah SWT.








BAB III
KESIMPULAN

Banyak konsep yang menjelaskan tentang sufi diantaranya seperti, sekumpulan orang-orang yang selalu mengutamakan kepentingan akhirat daripada kepentingan duniawi dengan melakukan ibadah kepada Allah SWT secara terus-menerus sehingga mereka merasa kedekatan dengan Tuhannya tidak ada yang dapat membuat hijab antara mereka dengan sang Khaliq. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa sufi merupakan sekumpulan orang-orang yang yang mengasingkan dirinya dari kehidupan bermasyarakat dan sering berkhlawat di daerah pegunungan atau suatu tempat yang jauh dari kehidupan duniawi.
Ibnu Arabi merupakan salah seorang  ulama’ sufi yang terkenal dengan sentral ajarannya yang sering disebut dengan istilah wahdat al-wujud  yang bermakna satu kesatuan, maksudnya yaitu antara makhluk dan sang Khalik jika dilihat dari hakekatnya pada dasarnya satu tidak ada perbedaan. Dengan sang Khalik sebagai wujud yag hakiki, sedangkan makhluk hanyalah bayangan dari sang khalik yang menyimpan sifat-sifat dari Allah SWT. Dengan ajaran seperti ini banyak pertentangan dari ulama’ sufi mengenai ajaran tersebut. Mereka beranggapan bahwa paham wahdat al-wujud  mulai melenceng jauh dari pemahaman tasawuf pada dasarnya.
Salah satu paham sufi yang terkenal dengan pemaknaan bahwa hubungan antara makhluk dan Sang Khalik itu adalah satu, merupakan paham yang dibawa oleh Ibnu Arabi dan yang kemudian akan lebih sering dikenal dengan sebutn wahdat al-wujud. Banyak kecaman dan gugatan dari sufi yang lainnya mengenai ajaran ini, dikarenakan inti dari paham ini yaitu yang mengatakan bahwa Allah SWT dan manusia itu satu pada hakekatnya. Tapi Ibnu Arabi menaggapi pendapatpendapat terebut dengan menyatakan alas an yang bersifat ekstrim dan sulit dipahamai oleh pemikiran yang biasa.

DAFTAR PUSTAKA


Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf antara Agama dan Filsafat: Sebuah Kritik Metodologis. Bandung: Pustaka Hidayah.
Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Toriquddin, Muhammad. 2008. Sekularitas Tasawuf, dalam Dunia Modern. Malang: UIN-Malang Press.
C. Chittick, William. 2001. The Sufi Path of Knowledge: Pengetahuan Spiritual Ibnu al-‘Araby. Yogyakarta: Qalam.



[1] )Ibrahim Hilal, TASAWUF antara Agama dan FIlsafat, (Bandung: Pustaka hidayah,2002), cet. I, Hal.42.
[2] )Ibrahim Hilal,ibid., hal.43-44.
[3]) William C. Chittick. Sufi path of knowledge: Pengetahuan Spiritual Ibnu Al-Araby.(Yogyakarta: Qalam,2001) ce. I,            hal. 4
[4]) Abuddin Nata. AKHLAK TASAWUF. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2006) hal.247
[5]) Ibid.
[6])Moh. Toriquddin. Sekularitas Tasawuf, memumikan Tasawuf dalam Dunia Modern. (Malang: UIN-Malang Press.2008)hal. 175

1 komentar:

Uswah mengatakan...

Makasiii... Ngopi yaaaaa :)

Posting Komentar